....Harapan Tak Boleh Mati...

...Ketika saya bertanya siapa saya...

Minggu, 22 September 2013

Tanya



       Alunan lagu barat ku putar sejak lepas maghrib lalu, sedikit keras saat terdengar irama “Fix You” milik Coldplay. Entah apa yang kurasa, aku pesta di waktu usai adzan Isya, sendiri. Sebotol Mixmax menemani, dan kamu seperti biasa, tengah berdandan menyambut lelaki yang akan singgah di kost-anmu, lalu pergi.
Dia kukenal dengan nama Ririn Trianingrum, dia baik, agak kemayu, dan supel. Wanita berdarah indramayu ini bekerja di sebuah toko waralaba yang kini sedang gencar menggempur desa. Di tengah lingkungan yang padat, membuatmu berpakaian serba ketat, menunjukkan dirimu adalah seksi.

        Lelaki ber-Vixion datang, berdiri tegak di depan pintumu, rasanya baru kali ini kulihat. Ahhh bukankah biasanya memang berbeda tiap kali ada yang hampirimu ??? Supel memang membuatmu punya banyak teman, terlebih dirimu  cantik.
Aku masih pesta, nuraniku bergumul di waktu,mendekap segala rasa.
“Mas Narto, gue cabut dulu, key…mau malem mingguan…kalo ada yang nyari bilang aja gue lembur.…” begitu pamitmu di tengah alunan White Flag-nya Dido.
Aku hanya mengangguk seraya ucap hati-hati padamu, dan rasanya tak kau hirau itu. Kini aku semakin sendiri, di tengah hutan tembok yang sedang ditinggal para penghuni.

        Kemarin kita pernah bicara, tentang kau yang gundah, dan sulit sekali bagiku saat itu menghadirkan sabit di wajahmu.  Hingga akhirnya kau malah cekakakan saat mendengar ceritaku tentang manisnya digampar oleh perempuan teman SMA dulu hanya gegara ku beritahu tali BH-nya ada yang melintir.
Aku pun masih ingat ekspresimu ketika kau mengungkit celana dalamku yang bolong tak berbentuk di jemuran saat awal-awal kau isi kontrakan yang sebelumnya 3 minggu dibiarkan kosong.
Baru ku tau kemarin, kau yang bilang bahwa sempak itulah  jembatanmu untuk mulai mengenalku sebagai teman.

        Hal seperti itu, bagiku agak luar biasa, setidaknya dalam lingkungan ini aku hanya mengenal sisi depan kanan kiriku sebagai tetangga.
padahal kuanggap kau teman adalah saat dimana kau memberi makanan usai kau gajian.
“Mas…ini ada makanan, di makan ya” begitu katamu saat ku melamun didepan pintu.
“Oh ya makasih mba…”.
“Medok banget mas jawanya, udah gausah malu. Mukanya keliatan laper tuh…nih taro aja rotinya didalem kamar mas”.
Sialll !!! kenapa pula dia nampak tau bahwa hari ini aku tak makan.
“Hmm..makasih loh mba…”
“Jangan panggil mba, nama gue Ririn lengkapnya Ririn Trianingrum…nama mas siapa ???”
“Narto…”
“Gak ada nama yang lebih enak didenger ???” Keningnya agak mengkerut.
“Nar !!!” tegas kujawab.

       Malam semakin sepi, aku tak tau apakah di pertigaan depan sana masih ada tukang mie ayam yang mangkal atau sudah pulang, orang yang melintas semakin jarang, sesekali terdengar letusan kembang api yang tak tau sumbernya ada dimana, terlebih tentang keberadaanmu. Di sisa pesta, musik kuperkecil suaranya, kuganti playlist dengan tembang karya Sujiwo Tejo. Inginku terlelap, tapi tidur jam 10 malam itu rasanya menyiksa. Sudah tentu, menjelang subuh atau malah masih jam 2 pagi, rasa ingin kencing pasti ada. Ahhh membayangkan itu pun rasanya sudah sangat menyiksa, apalagi mengalaminya. 

       Oh ya kemarin dia sempat bercerita  tentang adiknya yang baru lulus SMK di tanah kelahirannya, dia menyatakan bahwa adiknya ingin ikut bersama, dan tentu saja Ririn menolak. Aku tau, aku tau mengapa dia  tak ingin adiknya ada disini, meski agak bingung menimpalinya, ada saat dimana seseorang hanya ingin didengar dan harus memberikan pendapat. Saat itu rasanya dia hanya butuh telingaku. Aku hanya diam.
Kini hanya ada botol Mixmax kosong, rokokku pun sedikit lagi, kopi tak punya. Akhirnya aku punya kegiatan selain merenung, ya....jajan ke warung Mak Jeje. 

       Usai dari warung, ketika hendak memasuki mulut gang. Aku melihatnya turun dari Vixion yang tadi menjemputnya. Ada rasa ingin  punya sepeda motor agar dapat membawanya jalan-jalan, tapi ya hanya angan-angan keinginan saja. Biasanya, dia selalu berdiri sejenak dipintuku walau hanya sekedar bertanya sudah makan atau adakah yang mencariku tadi. Namun kali ini dia masuk ke dalam tanpa menoleh sedikitpun ke pintuku yang sedikit terbuka. Aku diam saja, pura-pura tak memperhatikannya dari belakang. Yang lebih tak biasa, ini baru jam 10 lewat, padahal jika ia keluar, pasti tak kurang dari jam 11 malam adalah waktu tercepatnya sampai dikontrakan.

       Aku memasuki kamar dengan rasa bertanya. menyajikan kopi hitam dan membiarkan alkohol bekolaborasi dengan kafein dalam perutku. akibatnya, sedikit pusing kepala. Kuperkeras musik, meskipun masih kredit suara speaker ini tak ragu-ragu. Lampu kumatikan, digantikan dengan lampu LED mode Disco gadaian kawanku tahun lalu, namun hinga kini tak pernah ditebusnya. Diriku bersandar dibalik pintu yang kubiarkan sedikit terbuka, bantal di siku, kepala mendongak ke atas, musik dangdut asal nganjuk, Sagita mengalun. Ajep- ajep versi anak srampangan.

        Pestaku berlanjut, lalu pintuku terbuka seutuhnya hingga mengenai lutut kiriku. Ya….Ririn yang membukanya, penampilannya kini lebih sederhana hanya dengan menggunakan kaus dan celana kolor mendekati lutut dan rambutnya di ikat. Kutanya ada apa, dia hanya masuk ke kamarku dengan diam, lalu duduk termangu. Kuperkecil suara musik, kumatikan lampu LED dan menyalakan lampu seperti biasanya namun tetap membiarkan dia. Aku memilih diam,  kupikir dia akan terbuka dengan sendirinya.

         5 menit, 10 menit, 30 menit, 1 jam dia tetap terdiam. Membuatku tak mengerti. Hingga akhirnya,
“Ngapain cuma diem aja ?” tanyanya dengan sedikit menantang.
“Aku gak ngerasa ada perlu ama kamu…kamu yang datang seharusnya kamu yang butuh, dan aku menunggumu bicara….hanya itu….” jawabku sangat jelas.
Dia kembali terdiam, namun tidak lama. Aku terkejut bukan main ketika dia malah membuka baju kausnya yang berwarna kuning kepodang, kini jelas sekali bra hitam melekat melindungi isinya. 
“Masih cuma mau diem aja ??” tanyanya padaku dengan nada agak pelan.
“Aku masih gak ngerti apa maksutmu Rin…”.
“Jangan sok munafik deh lo, udah nih nikmatin gue. Ini kan yang lo mau…?”
“Asssuuu…!!!! Maksutmu apa toh ? kamu datang tiba-tiba dan begini tiba-tiba. Aku gak ngerti blassss…kamu telanjang sekalipun didepanku ngga akan aku sentuh, bukan karena aku munafik. Aku mau, tapi ngga seperti caramu”.

“Kenapa lo gak bilang dari dulu ???”
“Bilang apa ???”
“Masih pura-pura gak tau ???”
“Ya memang beneran gak tau…makanya kamu ngomong dulu, jelasin ada apa, tenang…pake tuh bajumu…gede banget sih…”.
 Dia kembali kenakan bajunya, aku yang menyuruhnya tenang, ikutan tenang.
“Kenapa mas gak bilang ke aku kalo mas itu tau siapa aku sebenernya….”
“Emang sebenernya kamu siapa, Rin…??”
“Mas !!!! gue serius !!!”
“Ya sama…”
“Key….sejak kapan lo tau gue seorang pelacur ???”
“Lupa…”
“Kenapa gak bilang ???”
“Buat…???”
plaakkkk !!! Aku ditamparnya…
Aku diam, duduk tertunduk.
“Sejak saat itu, hingga kini aku belajar berteman dengan kecewa….aku suka ama kamu, sayang, tresnoo….tapi ketika ku ceritakan rasa ini pada teman kerjaku, aku ditertawakan. Ngapain lu demen ama lonte, kaya gak ada cewe laen aja yang lebih gres…Gitu katanya…oke skip cerita, itulah awal aku tau siapa kamu…dan aku padamu, bukan siapa-siapa, lalu apa yang kau minta ? pentingnya aku bagimu dimana sampai-sampai kini kamu ada di dalam kamarku ???”

“Lo pikir cuma lo yang punya rasa ??? gue enggak gitu ??? jahat banget lo….apa lo gak ngerasa gue perhatiin lo ??? bahkan tiap malem kalo abis keluar gue selalu nanyain lo ???  di saat lo udah tidur, gue yang nutupin pintu biar lo gak kedinginan….gue tadi liat lo warung, itu sebabnya gue langsung masuk. Gak pedulikan pintu kamar lo yang kebuka, percuma…gak ada orangnya…lo adanya di belakang gue…”

“Lalu maumu apa ??? kalo aku bilang siapa kamu sebenernya lantas kenapa ???”
“Bantuuuuu gueeeee !!!! gue pengen keluar dari dunia kek gitu !!!!”
“Kenapa mesti aku ??”
“Cuma lo mas yang bisaaaaa….!!!! Sadar gak sih lo, tiap gue liat lelaki manapun yang  natap gue kek orag lagi nawar. Tatapan lo tulus mas, bedaaaa…dan gue yakin lo yang bisa bantuin gue menjadi lebih berharga…”
“Oke…balik sana ke kamarmu, aku ngantuk…udah pingin tidur dan kamu ngganggu…”

       Diapun berlalu, langkahnya ragu, lesung pipinya bak muara airmata. Kututup pintu, dengan menyimpan tanya.
Aku terjaga, berat rasanya untuk memejamkan mata dan bermimpi tentang kenikmatan yang seharusnya tadi menjadi nyata.
Entah apa yang aku pikirkan, namun bulat tentang dia hingga sayup-sayup suara adzan subuh menyadarkan aku dari lamunan. Apa yang harus aku lakukan ? apakah aku akan menjadi seorang pahlawan ?

        Pagi bersinar, semakin takut rasaku terkena sengatan mentari, hanya karena soal semalam. Detak degup dijantungku meningkat kala mendengar dirimu bertegur sapa dengan yang berpapasan di hadapanmu.
Yaaa rupanya kamu sudah bangun, atau malah sama sepertiku ?
kau mengetuk pintuku yang tak terkunci,
“Mas…….”
Aku berpura terlelap dalam mimpi indah menghadap dinding supaya mataku tak terlihat seperti merem ayam. Ketukan itu berhenti, dan berganti menjadi suara pintu yang dibuka. Benar saja, dia masuki kamarku. Aku tak tau dia berbuat apa, dia hanya diam beberapa saat, rasanya hanya sebentar dan ketika mataku terbuka dan melihat jam weker di atas DVD Player, waktu sudah menunjuk angka 2 siang. Rupanya dalam berpuraku menjadi tidur sungguhan.

        Bukan hanya waktu yang agak mengejutkanku, tapi adanya secangkir kopi hitam masih penuh dan sudah tak panas lagi ada tepat di sisi jam weker menindih selembar kertas bertuliskan
“kopinya di minum ya,  saat mas udah bangun dan sedingin apapun, aku yang bikin buat kamu”.
Oke, aku meminum kopi yang rasanya sudah tak terasa kopi, dan tepat saat tenggakan terakhir dia muncul dibalik pintuku.
“kopina udah dingin ya ?” begitu katamu mengawali percakapan.
“jelas” singkat jawabku
“iyalah tadi aku bikinnya pagi-pagi, untung aku tutupin…”
“kalo ngga juga tetep dingin”.
“seenggaknya gak ada cicaknya yang masuk ke kopi mas”.
aku balas dengan senyum tipis,
“makasih ya rin”
“cuci muka atau mandi dulu sana, ini biar aku yang beresin..kamar cowok gak dimana-mana acak-acakan”.
Aku hanya diam tak menanggapi, aku jawab pun arahnya sudah bisa ditebak, dan aku tak mau masuk ke dalam bayang-bayang itu, bisa saja itu menyakitkan ketimbang aku yang mengalami.

        Usai mandi, kopi hitam panas sudah tersaji, kamarku menjadi lebih bersih dan tertata.
“Gimana ? enak kan diliatnya kalo gini…bersih..rapih…itu minum lagi kopinya, mas kan doyan ngopi, aku bikin barusan masih panas kok…oh ya tapi pelan-pelan minumnya jangan kek tadi…” ucapnya nyaris seperti tak bernafas seraya mengelap bodi dispenser.
“makasih…” hanya itu yang kumasukkan dalam telinganya.
Kuputar lagu, diawali dengan “Daydream” milik Christina Perri. Pas rasanya lagu yang menceritakan tentang memilikimu dalam bayangan, meskipun aku tak begitu memimpikanmu. Tak terlalu keras memang, tapi cukup jelas terdengar. Sebenarnya aku bingung harus berbicara apa padanya, aku kaku, aku gagu dan lebih memilih menikmati rokok.
 “Lupakan hal semalam, anggap saja aku tak pernah berbicara seperti itu” dia membuka ketakutanku.
“Seandainya bisa”
“Bisa apa ?”
“Melupakan itu…”
“Semalem, mas tau kan yang pergi ama aku…iya lelaki itu pengen aku jadi istrinya. Dia bilang tahun depan akan menikahiku”
“Syukurlah…Bukankah seharusnya kamu seneng ?”
“Seharusnya sih…tapi percaya apa ngga, waktu dia bilang gitu…yang aku inget kamu mas…makanya semalem aku pulang cepet…aku gak sempet ngapa-ngapain malahan….”.
Deggg !!!! apa-apaan ini…terkejut aku mendengar itu, lebih mengagetkan daripada saat aku mendengar ada kasus pencurian motor di gang sana.
“Inti dari pembicaraan ini ??” aku mencoba mencari terang.
“Hak kamu sih mas…mauku yaaa kam...uu…”
“Mau apa ?”
“Hmmm…Yang jadi suamiku nanti…tapi iya kok itu hak kamu…”
“Kenapa ngga ama lelaki semalem ?”
“Aku bermain karena uang, bukan rasa”
“Lalu padaku ???”
“Itu cinta, mas…”
“Aku gak bisa jawab sekarang”
“Aku juga gak minta kamu menjawabnya, ini tentang rasa dan keinginan yang aku ungkap ke kamu…kamu gak bego kok”
“Oke…”
Di penghujung alunan Sarah Blackwood dengan “Drowning-nya”, tepat menjelang adzan ashar dari corong speaker mushola terdekat. Kami sama terdiam, lama…cukup lama. Seolah diam ini kami lombakan dan untuk menjadi pemenang hanya perlu diam lebih lama. Berakhirnya gema adzan ashar bukan pertanda kami usai berlomba, hingga senja memerah kami masih memperebutkan hadiah, entah apa, masih tanda Tanya. Yaaa…dalam diamnya boleh jadi dia berpikir kenapa aku terdiam, dan dalam diamku penuh dengan alunan Tanya, yang sama sekali aku tak punya nyali untuk kutanyakan padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar