....Harapan Tak Boleh Mati...

...Ketika saya bertanya siapa saya...

Sabtu, 28 Agustus 2010

Biografi Prie GS


Prie GS mengawali kariernya sebagai wartawan di Harian Suara Merdeka Semarang. Tetapi seniman dan budayawan itulah sebutan yang kini melekat kepadanya. Ia pernah memperdalam piano dan gitar klasik. ‘’Musik bukan jalan hidup saya,’’ katanya. Hingga kini ia masih menjadi kartunis dan pernah pamaren di Tokyo Jepang atas undangan The Japan Foundation. ‘’Kartun menjadi rekreasi yang sehat untuk mental saya,’’ katanya. Di Jepang ia sempat berdiskusi satu meja dengan para komikus dan animator top negeri itu.
Menjadi pengamat itulah akhirnya keasyikan orang ini. ‘’Mengamati apa saja. Paling asyik adalah mengamati segenap kelucuan di Indonesia,’’ katanya. Pekerjaan yang kurang jelas itulah akhirnya yang memberi atribut budayawan kepadanya. ‘’Jadi kalau pekerjaan Anda tidak jelas, sebut saja sebagai budayawan,’’ tambahnya sambil tergelak.

Dengan atribut itulah, Prie GS bisa masuk ke segenap wilayah dengan gayanya sendiri. Ia bisa berceramah dengan gembira di depan anak-anak jalanan hingga tampil di hotel-hotel berbintang. Ia pernah diundang oleh FX Hadi Tjokrosusillo dan James Gwee untuk bicara di tengah sekitar pengusaha top Jakarta, diundang ke Mabes Angkatan Laut Cilangkap untuk memberi refleksi sosial di hadapan para jenderal dan para perwira Angkatan Laut. Berbagai institusi besar pernah disambanginya antara lain PT Indofood, PT Telkom, PT Coca-Cola, Indonesai Power, Bank Indonesia, PT PLN, PT Telkomsel, aneka bank, asuransi dll. Ia kini sibuk sebagai pembicara di seminar lintas tema mulai dari politik, kebudayaan, sosial hingga bisnis. ‘’Itulah kenapa saya disebut sebagai budayawan, Ngomong apa saja boleh!’’ katanya. Humor memang soal yang terpisahkan dari tokoh ini. Merenung sambil berhumor itulah yang mewarnai seluruh seminarnya.
Ia lebih suka menyebut kontribusinya itu sebagai refleksi. Refleksi Bersama Prie GS adalah talkshow-nya di SmartFM yang disiarkan di 11 kota di Indonesia setiap jumat malan pukul 119.00 WIB, sebuah talkshow yang oleh pendengarnya disebut sangat mengoda. Untuk itulah sebutan Penggoda Indonesia disematkan kepadanya. Di dalam refleksinya Prie GS bisa bicara apa saja secara mengejutkan untuk soal-soal yang sering banyak kita lupa. Karyanya, Sketsa Indonesia, menggemparkan dunia karikatur radio di Indonesia. Sebuah karya yang membuat hampir seluruh televisi di Indonesia meliriknya, tetapi hingga saat ini belum dilepasnya. ‘’Ia sangat radio. Biarlah ia cuma milik radio,’’ kata Prie GS. Kini ia menetap di kota yang amat dicintainya, Semarang.

Kamis, 19 Agustus 2010

Alif Menjerit


       Seorang anak bernama Muhammad Alif Febriyanto. Ia baru berumur 6 bulan.
Dia mengidap penyakit hydrochepalus dengan ukuran lingkar kepala 65cm (yg tiap harinya semakin membesar).
Keluarganya tidak bisa mengobati lebih dikarenakan terbentur masalah dana.
Ia lahir dari keluarga miskin, ayahnya hanya seorang buruh, dan ibunya tidak bekerja (IRT).

Sejauh ini, belum ada jamkesmas maupun bantuan dari pemerintah setempat.
Ia beralamat di desa Tlogosari RT 08 RW 04, kecamatan tlogowungu, kabupaten Pati. Jateng.


NB: Tujuan posting ini, agar para pembaca dapat memahami, membantu, setidaknya menyebarluaskan.
Bagi yang ingin membantu secara materi, bisa dengan cara transfer.
No. rek : 0199813338 (BNI)

Informasi ini hanya copy paste, hanya saja bahasanya saya edit .
Sumber: Salah 1 Grup di jejaring sosial Facebook.
Informasi lebih lanjut : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000194440776&v=wall#!/group.php?gid=131402700237431&v=wall

Senin, 02 Agustus 2010

Aku Tak Sendiri

       Kesepian, kesunyian, keheningan hati selalu hadir menemani malam-malamku. Seperti dimalam ini, ingin rasa berteriak sekencang-kencangnya melawan keadaan. Dari jendela kamar yang tersingkap, kulihat sekelompok anak muda bernyanyi, bercanda, tertawa hingar.
"Seperti tanpa beban mereka itu" pikirku.
Ada rasa ingin menghampiri mereka, tetapi aku adalah wanita, jelas tak pantas. Beginilah adanya aku, hidup berkecukupan, bahkan bisa dibilang mewah, mau apa saja orang tuaku pasti mengabulkan, tetapi tetap saja sepi hati, sunyi.
       Terkadang aku tak tau apa yang ku inginkan, tak tau pula harus bagaimana, ingin itu lalu sudah begitu, ingin ini lalu terjadi, hasilnya sama saja, stagnan, antiklimaks. Bahkan temanku pernah mengungkapkan satu kalimat yang sampai saat ini masih jelas kuingat.

"Kamu itu nggak biasa sendiri, tapi slalu sendiri".

Pada saat ia mengucap itu aku langsug menyangkal dan ia tak memberikan perlawanan. Namun, semakin kesini, ucapan itu ada benarnya juga.
Kebenaran itulah yang kini menjadi pertanyaan hatiku. Aku masih memiliki orang tua, aku masih punya teman, aku masih punya uang, dan aku tetap milik Tuhan, tapi kenapa hati ini masih merasa sepi ???
Pertanyaan abadi yang slalu dipertanyakan hati.

       Hingga suatu malam, rumahku didatangi tamu, terdengar dari balik dinding kamarku, tamu tersebut sangat ceria sekali pembicaraannya, sehingga membuat susana menjadi harmoni.

"Ani, kamu sudah tidur belum..???". Ibuku memanggil seraya mengetuk pintu kamarku yg tertutup.

Segera ku bukakan pintu.
"Ani belum tidur Bu, sepertinya ada tamu, siapa itu ya Bu..???".
"Iya, justru itu Ibu memanggilmu, yang datang itu Pakde yang ada di Solotigo, masih ingat ndak kamu An ?".
"Rasanya Ani lupa".
"Ya makanya, ayo keruang tamu, temui Pakdemu".
"Iya Bu, tunggu saja".
Segera aku berdandan seadanya untuk menemui Pakde.

Beberapa saat kemudian, aku melangkah menuju ruang tamu lalu bersalaman dengan pakde.

"Ani..Masih ingat ndak sama aku, pakde Kamto???". Tanyanya dengan senyum bahagia.
"Ani lupa pakde". Jawabku singkat namun penuh keingintahuan.
"Coba kamu inget-inget lagi 10 Tahun lalu pada saat kamu masih berusia 10 tahun, waktu itu kamu masih tinggal bersamaku Ni".

Aku mencoba mengingat masa lalu. Memang, aku melihat wajah Pakde sangatlah tidak asing, tapi tetap saja, aku tidak mengingat itu.

"Sudahlah, kalau tidak ingat juga tak apa-apa, yg penting pakde sekarang bisa menemui kamu yg sudah dewasa. Ngomong-ngomong kamu sudah punya calon belum??".
"Ah pakde, calon apaan coba, pacar saja belum punya".

       Obrolan mengenai diriku dimasalalu tercurah penuh canda dan tawa, aku sangat menikmati itu, sebab jarang bahkan hampir tidak pernah aku tertawa selepas ini dirumahku sendiri, yg ada hanya kehidupan sepi monoton tak berdaya menghadapi kesepian.
Malam begitu terasa cepat berlalu, hingga pagi kembali membangunkanku dari tidur.
Aku berpikir, pakde akan tinggal beberapa hari disini, ternyata tidak. Dipagi itu, pakde Kamto mengajakku untuk ikut kerumahnya yg ada di Solotigo, jawa tengah. Bila hanya sekedar menawarkan mungkin aku masih bisa menolak, tapi yang terjadi pakde benar-benar inginkan aku untuk ikut, bahkan bisa dibilang ada unsur pemaksaan.

"Pakde, kenapa Ani harus ikut??? Kenapa tidak Pakde saja yg tinggal disini???".
"Nduk Ani..Pakde kesini hanya ingin mengajak kamu ke Solotigo, soale kalau tidak begitu, kamu tidak akan pernah tau rumah Pakde".

Mendengar alasan itu aku sedikit terkejut, ada apa denganku..? sepertinya hanya aku yang dibutuhkan disini.

"Tapi pakde, apakah Ani di izinkan oleh kedua orangtua Ani kalau Ani ikut pakde???".
"Soal itu, tadi malam pakde sudah bicarakan, dan orangtuamu mengizinkan".

Aku pun mulai mempertimbangkan apakah harus ikut atau tidak serta ingin tahu apa maksudnya dibalik ajakan ini. Belum sempat aku menyetujui ajakan tersebut, pakde sudah meyakinkanku.

"Seandainya kamu disana tidak kerasan, pakde siap mengantarmu kembali kesini".

Entah mengapa, ucapan itu sangat menyejukkanku, bahkan aku merasakan aku lebih dekat dengan pakde dibandingkan dengan orangtuaku sendiri.

"Ya udah pakde, Ani ikut. Kapan yang mau berangkat???".
"Kamu siap-siaplah sekarang, dan kita pamit pada orangtuamu".
"Iya pakde".

Aku yang tengah menyiapkan beberapa perlengkapan untuk hidup disana tiba-tiba Ibu menghampiriku.

"Ani..Kamu baik-baik disana ya..Jangan malas-malasan, kalau tidak kerasan disana, pulanglah dengan alasan yang tidak menyinggung perasaan keluarga Pakde".
    
Sebenarnya aku merasa janggal dengan keadaan ini, namun aku mengiyakan saja apa yang diucapkan Ibu. Setelah Ibu yg berbicara, kini Ayah yang menasihatiku.

"Kamu jangan bikin malu keluarga ini, kamu sudah besar, tau mana baik buruk untukmu sendiri, jika ada apa-apa menimpamu disana, berpikirlah secara terbuka".

"Iya Ayah, Ani mengerti".

       Hatiku bertanya-tanya ada apa ini, seakan-akan mereka takut aku kenapa-kenapa.
Setelah semuanya siap, aku dan Pakde berpamitan. Jelas terlihat kedua orang tuaku memasang senyum palsu dan seadanya melepas kepergianku, sepertinya enggan membiarkan ini terjadi. Namun aku tak menghiaraukan hal itu, diperjalanan sedari tempat tinggalku, comal pemalang, menuju solotigo pakde Kamto sangat menghiburku, antusias mendengarkan alunan cerita-ceritaku, dan memberikan canda yang membuatku tertawa lepas. Sungguh aku bisa saja menganggap hal ini luar biasa.
Perlahan pakde Kamto mulai menceritakan kehidupanku sewaktu kecil dulu.
       Menurut pakde, dulu saat aku terlahir sampai berusia 5 tahunan, adik kandung pakde yaitu Ibuku, dan ayah, masih tinggal bersama pakde Kamto. Barulah, saat aku menginjak usia 6 tahun, ayahku yang asli pemalang, mendapatkan rumah warisan dari kakeknya. Sejak saat itulah kami tinggal di pemalang.
Lalu pada saat aku berusia 10 tahun, pakde bersama istrinya datang mengunjungi rumah ayah dan tinggal selama 3 bulan. Dikala itu, katanya aku sangat akrab sekali dengan bude sampai-sampai aku menangis menjerit ketika pakde dan bude pamit pulang.
Aku yang mendengar cerita itu sangat ingin kembali ingat masa-masa itu, tetapi nyatanya aku tidak ingat sama sekali.
       Setelah selama kurang lebih 8 jam perjalanan, akhirnya sampai juga tempat yang dituju, kota Solotigo.
Kami turun tepat di depan MAN sebelum pasar. Katanya pakde, rumah sudah tak jauh lagi, tinggal berjalan beberapa menit pun sampai. Kami berjalan menyusuri gang setelah melewati sebuah taman. Para tetangga menyambut hangat kedatangan pakde, namun terlihat bingung ketika menatapku.

"Ini nduk rumah pakde, jangan segan-segan dan semoga kamu kerasan tinggal disini". Ucap pakde sembari mengetuk pintu, dan mengucapkan salam.
Terdengar pula sahutan dari dalam, lalu membukakan pintu.
Kulihat sesosok Bude yang bertatapan harap. Aku yang hendak salim pada bude terhambat karna ia langsung memelukku.

"Aniii..bude kangennnn..".

Bude terlihat puas dan sangat bahagia melihatku, hingga bahuku terasa basah oleh matanya. Aku yang tak mengerti pasrah saja, tanganku digenggam, dan dipersilahkan masuk.
Aku merasa seperti ratu yang sempat hilang dan kembali ke istana, aku dilayani setulus-tulusnya, hingga aku merasa risih dan tidak enak hati sendiri.

"Nduk, kalau mau apa-apa, tolong jangan segan, minta saja sama bude atau pakde, biar kami yang menyediakan".

"Iya bude, tapi sudahlah..Jangan terlalu repot".

Seperti itulah, suasana damai hati kudapatkan, tak lagi sepi, tak lagi merasa sendiri. Meski tidak enak hati, sejujurnya aku menikmati.
Lama kami berbincang, aku dititah istirahat, padahal waktu masih menunjuk jam 7 malam, namun apadaya, memang aku letih.
Sebelum memasuki kamar, bude mencium keningku dan mengucapkan selamat malam. Sesuatu yang tak pernah kudapat dirumah.

       Keesokan harinya, aku terbangun lebih siang dari biasanya, hal yang memalukan, apalagi ini terjadi bukan dirumah sendiri. Sedikit terkejut aku saat membuka pintu kamar yang langsung bisa melihat ruang tamu, ya aku melihat sesosok wanita yang bersenda gurau dengan budeku, wanita itu seperti aku, persis.

"Eh nduk Ani sudah terbangun..Mandi cepat, akan bude siapkan sarapan untukmu". Begitu ucapnya, aku menurut saja.

Selesai mandi pagi, sarapan aku tanpa ada yang menemani. Lalu bude menghampiriku.

"Nduk, itu tadi anak bude, seusia denganmu, 20 tahun namanya pun Ani, lengkapnya Ani Fitriyana. Ia kerja di sebuah toko kelontong yang pemiliknya adalah teman dekat pakdemu".
"Tadi malam Ani nggak melihat bu, kemana dia?".
"Ia bekerja, pulang jam 9 malam. Selama kamu disini, bude menyuruhnya cuti kerja, agar bisa menemani kamu. Sudah, cepat selesaikan sarapanmu, bude tunggu diluar".

      Ini sandiwara darimana....Ada apa dengan maksud semua ini...Bagaimana mugkin ini bisa serupa denganku..Kuhentikan sarapanku.
Ia bernama Ani Fitriyana, sedangkan aku menurut akta kelahiranku jelas tertulis bahwa namaku adalah Ani Fitriyani. Apa-apaan ini, berusia sama, dengan wajah yang sama pula.
"Allahhu Akbar".
Jantung berdetak keras saat bergegas ke ruang tamu. Aku dan Ani bersalaman dengan mengucap nama yang sama, senyum palsuku persembahkan. Perasaanku terang mengatakan tak percaya, tapi ini jelas bukan mimpi.
Semakin kurasakan hati ini semakin berontak, hingga aku inginkan sesuatu yang pasti. Aku ingin tau semua ini.

"Kamu datang jam berapa An..?". Tanyanya padaku.
"Mmmhh kemarin, sekitar jam 4 sore mbak..". Jawabku kaku.

Bude yang menyaksikan itu, singgah entah kemana, sehingga mau tidak mau, aku harus berbincang dengannya.

"Mbak'e hari ini tidak kerja kah???". Aku memulai bertanya sekedar basa-basi.
"Ndak An, Mamah tadi menyuruh aku menemanimu selama ada disini, mudah-mudahan kamu senang An..Kamu sendiri dipemalang sudah bekerja apa belum???".
"Kepinginku sebenarnya kerja mbak, tapi sejak lulus sekolah 3 tahun lalu, sampai kini aku masih di rumah saja mbak, orangtua belum mengijinkan..Lha ini pakde'nya kemana ya mbak???".
"Ya kamu turuti saja apa mau orangtua kamu, mbak yakin ada maksud baik dari orangtuamu. Pakde hari ini masuk kerja, nanti jam 3 sore baru pulang. Kabar disana baik-baik saja kan An..???".
"Alhamdulillah mbak, baik-baik saja".

       Aku tak menyangka, rupanya Mbak Ani asyik juga diajak bicara, dan jujur aku senang. Seperti sedang berada dalam naungan kebahagiaan, hingga aku tak sadar bude sudah berada diantara kami. Lalu bude menceritakan kehidupan kami saat kecil dulu. Menurutnya, dulu itu aku sering dibuat menangis dan aku pun sering membuat jengkel mbak Ani. Kami hanya tersenyum malu untuk mengakui.
Perlahan aku dan mbak Ani menjadi akrab. Dimalam harinya, aku menginginkan mbak Ani untuk tidur bersamaku, hanya saja aku sedikit kecewa karena ia menolak, dan bude serta pakde pun mendukung penolakan itu yang berasaskan takut mengganggu kenyamanan tidurku. Apa boleh buat, melangkah pasrah menuju kamar.

      Diranjang empuk terkulai aku terpikirkan perasaan berhasrat ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Aku ingin kejelasan. Aku tak ingin hidupku kedepan penuh dengan pertanyaan. Karena sekarang saja sosok mbak Ani sudah kupertanyakan dalam hati. Entah kenapa aku belum berani menanyakan hal ini kepada pakde, maupun bude. Namun kuberkeyakinan, semuanya akan terungkap, walaupun ku tak tau siapa yang akan memulai..

       Tak seperti hari kemarin, dipagi ini aku bisa sarapan bersama mereka,. Kini aku sudah merasa lepas dari keseganan, aku sudah tidak merasa asing lagi, aku telah menjadi diri sendiri. Melakukan ini itu, bicara ini itu, sudah tak risih lagi.
Kehangatan dimeja sarapan pagi itu harus berhenti, karena pakde pamit berangkat kerja.
Aku yang sedari tadi berbincang dengan mbak Ani dan bude, tak sadar ternyata waktu telah menjelang sore.
Setelah selesai mandi, tumben bude menyuruhku keluar rumah untuk membeli kopi dan gula.
Aku manut saja, tak keberatan sama sekali atas perintah bude, berjalan santai menuju warung.

"Bu, beli kopi sama gula setengah kilo..???"
Ibu pemilik warung tersebut heran menatapku. Lalu aku menegurnya.
"Bu, kok ngeliatinnya begitu, ada yang salah dengan saya???"

"kkkamu Ani kan???" Ibu itu menjawab gugup.

"Iya benar, kok tau Bu.."

"Halah, kita kan tetanggaan, ya pasti tau, lagian kamu kan sering belanja disini, tapi yang Ibu heran, kamu keliatan lebih cantik, tidak seperti Ani biasanya.." Jawab si Ibu.

Aku mendengar itu tersenyum, dan menjawab.

"Saya memang bukan Ani yang biasanya Bu, saya belanja baru kali ini, dan memang, baru 3 hari ini saya tingggal bersama pakde Kamto, Ibu kenal pakde Kamto kan???". Tanyaku polos.

"Pakde???" Jawab Ibu itu.

"Ya...Kenapa Bu?"

Ibu tersebut kembali pada karakter aslinya, blak-blakan.

"Kamu yang dibawa sama Pak Darto dan Ibu Hesti itu ya???"

Pertanyaan yang cukup mengagetkan aliran darahku.

"Kok Ibu kenal???" Tanyaku ingin tahu.
Bukan hanya karna ia tau nama kedua orangtuaku, tapi juga karna ucapannya yang "dibawa".

"Ya tau An, wong kamu itu anaknya Pak Kamto dari pasangan Ibu Fitriyani."

"Apa....??!!!??!!!?"
Ini benar-benar mengejutkanku.

"Ya..Kamu belum tau tow???" Tanya si Ibu merasa bersalah.

"Bu, aku mohon. Tolong kasih tahu aku, apa yang Ibu ketahui tentang aku."

"Mmmhhmm.....Kamu tadi mau beli apa An???". Ibu ini malah mengalihkan pembicaraan.

"Kopi dan gula setengah kilo. Aku mohon ceritakan Bu". Pintaku memaksa.

Ibu itu mengambil kopi dan gula pesananku, setelah itu mulailah ia berkisah.

"Dulu, setelah dua tahun pasangan Kamto-Fitriyani menikah, adik dari Kamto, Hesti menikah dengan lelaki asal Pemalang bernama Darto. Lalu mereka pun sementara tinggal bersama dengan keluarga Kamto. Bertahun-tahun berlalu, Fitriyani melahirkan dua anak kembar perempuan. Saat itu, akulah yang menjadi bidannnya.
Kemudian, anak kembar bernama Ani Fitriyani dan Ani Fitriyana tumbuh besar, sekitar pada umur lima tahunan, Darto dikabarkan mendapat rumah warisan kakeknya. Setelah itu, Darto dan istrinya, Hesti bergegas pindah ke Pemalang dengan membawa salah satu anak dari pasangan Kamto-Fitriyani, karena diketahui bahwa mereka tak bisa memperoleh keturunan".

       Bak disambar petir beribu kali, aku tersentak, terkejut, atau ter apalah itu, yang berujung tersakiti. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tak menangis, dengan tenang aku memberikan uang dan menunggu kembalian yang sangat-sangat lama menurutku. Nafasku sesak.
Proses jual beli selesai, aku berlari menuju rumah meski tak kencang, setidaknya mampu menghasilkan keringat yang menyamarkan airmataku.
Aku meletakkan kopi gula dimeja makan tanpa diketahui bude. Masuk kamar, diranjang empuk aku tersiksa menerima kenyataan ini.

       Tangisan deras menderu, nafas tesengal sejuta hambatan, menyerukan bahwa aku harus percaya pada kenyataan. Inginnya aku jelas tak percaya, tapi kenyataannya, aku memang kembar dengan anak bude, nama aku dan dia pun serupa, apa ada alasan untuk aku tak percaya???. Perhelatan batin sangat sengit menyeruak kedalam nurani, ingin marah, berteriak, menjerit, menyangkal.
Tidak !!! Ini tak benar, aku adalah aku, anak ayahku, Darto. Aku tetaplah aku, anak Ibuku, Hesti. Aku dibesarkan oleh meraka. Tapi ya tapi......Aku disudutkan kenyataan. Pedih.
Hingga malam tiba, linangan airmata masih mengalir, pakde mengetuk pintu.

"Nduk Ani, Ayo kita makan, pakde bawa sate loh"

Aku tak hiraukan itu, sangat berat untuk melangkah. Hanya menangis dan menangis yang kuat aku lakukan.

Kenapa tidak bilang saja aku anak pakde Bu......
Kenapa tak berterusterang saja aku hanya diasuh olehmu Yah.......
Jahat........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Ingin sangat aku mencacimaki takdirku, airmata ini memang jawaban.
Jawaban dari apa yang telah ku alami dalam keheningan hidup.
Aku yang di ungkap bahwa aku makhluk yang tak biasa sendiri namun selalu sendiri.
Aku yang slalu merasa sepi.
Aku yang slalu rapuh dalam gelap malam.
Aku yang pernah mempertanyakan kenapa dengan diriku.
Inilah jawabnya.
Airmata nyatanya.
Puas kah kau takdir ????????

       Semalam suntuk aku terjaga, hingga pagi datang lagi. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, aku kaku, beku.
Meski sarapan bersama, sekuat mungkin kusembunyikan luka. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
Sebab jikalau bicara, airmata mengiringi.

"Tadimalam kamu sudah tidur ya Nduk??? Kok pakde panggil-panggil gak nyahut."

Aku sulit untuk menjawab, mengambil nafas saja tersengal. Hanya mengangguk yang mampu menjawab pertanyaan itu.

"Sarapan sedikit sekali nduk, ndak seperti biasanya....Lagi ndak enak badan po..???" Tegur bude padaku.

"Biasalah Ma, anak muda..Kangen seseorang mungkin.." Mbak Ani yang membalas.

Aku hanya tersenyum menanggapi itu, tanpa basa-basi, aku langsung memasuki kamar.

       Dihatiku ada dorongan untuk menanyakan hal ini pada salah satu anggota keluarga pakde, tapi keberanian masih jauh menghampiri. Mbak Ani adalah satu media yang terbaik untuk ku pertanyakan, karna kami sebaya, juga menurutku ia pun asik diajak bicara. Hanya saja aku lunglai untuk mengawalinya.

"Pakde, bude, ijinkanlah aku hari ini untuk kembali ke pemalang, aku rindukan ayah dan ibu..." Pintaku sedikit gemetar.

"Lhhoooo..Kok mendadak begini nduk ???" Sahut bude, pakde hanya melongo.

"Iya bude, semalam aku memimpikannya". Jawabku mengarang.

"Lalu siapa yang akan mengantarmu nduk, pakde kan harus kerja".

"Ani sendiri gak apa-apa kok pakde, asal diijinkan, dan Ani mohon dengan sangat diijinkan..."

Setelah pakde berpikir keras, akhirnya pakde mengijinkanku untuk pulang hari ini juga.

"Kamu sudah siapkan semuanya belum nduk..Pakde pamit berangkat kerja ya, kamu yang hati-hati dijalan, waspada, jangan sampai nanti pakde merasa bersalah pada keluargamu ya nduk...."

"Iya..Pakde juga hati-hati kerjanya..Makasih ya pakde".

Aku bergegas menyiapkan apa yang akan kubawa pulang ke pemalang. Setelah semuanya selesai dan tinggal berangkat, mbak Ani dan bude lama menatapku, seakan enggan merestui kepulanganku.
Entah dorongan darimana, aku langsung menyergap mereka dan memeluk bude.

"Bude, maafin Ani slama ini sudah banyak merepotkan bude....Ani juga minta maaf kalau slama ini banyak salah..". Airmata mengiringi pengucapanku.

"Ya nduk, tak apa-apa, bude senang kamu diisini..". pelukan itu terlepaskan, dan mbak Ani menghadapku.

"Kamu yakin An, akan pulang sendirian...?"

"Iya mbak..Terimakasih ya mbak..".

Bude kembali memelukku, erat.

 "Maafin bude juga ya nduk....Kamu hati-hati dijalan".

 Kudapati bude menangis dalam pelukanku, entah kekuatan darimana...Aku berani mengungkap semua itu.

"Iya Bu, Ani maafin Ibu kok..". Jawabku spontan seraya melepaskan pelukan itu.

Bude menganga, begitupun dengan mbak Ani.

"Engkau Ibu kandungku...". Ungkapku lagi dengan mata yang semakin basah.

"Ani sudah mengetahui semuanya, dan jangan tanya darisiapa Ani tahu..Ani memaafkan bude, memaafkan pakde...Dan Ani tak akan marah pada mereka yang dipemalang..Bagaimanapun, Ani harus tetap bersyukur, bersyukur karna Ani tau Ani siapa..Terimakasih banyak untuk semuanya...Maafkan Ani berbicara lacang seperti ini, ini karena Ani...Karena Ani sayang bude....". Airmata semakin basah ketika bude memelukku. Pelukan yang hangat dari seorang Ibu kandung. Aku melanjutkan pidato kekeluargaanku dalam pelukan itu.

"Jika harus ada yang terluka, benar, cukup Ani seorang..Jika harus ada yang kecewa, juga cukup Ani saja..Bagaimanapun, bude, pakde, ibu, dan ayah adalah tetap orangtuaku, dan mbak Ani, adalah saudaraku sedarah daging".

Mbak Ani mendengar itu, seperti merasa bersalah..

"Mbak Ani benar-benar minta maaf An, sudah menutup-nutupi ini darimu....Semua ini mbak lakukan demi kebaikan kamu...Mbak Ani minta maaf An.......". Ucap mbak Ani dengan tangisannya yang pertama kali kulihat. Aku luluh atas ucapannya, tak kuasa hanya airmata yang mewakili perasaanku semuanya.

"Benar nduk..Semua itu benar, Aku adalah ibumu.....Maafkan Ibumu.....Tak bisa merawat dan menjagamu nduk......"

"Sudahlah Bu, Ani sudah memaafkan semuanya...Tak ada yang perlu disesali...Ani pamit ya Bu, mbak An...
Salam buat Ayah jika pulang nanti...... "

       Aku tak menunggu jawaban apa-apa lagi dari mereka, kulangkahkan kakiku yang mencoba kuat dengan iringan tangisanku juga tangisan mereka. dijalanan seruni, Solotigo saksi kepedihan sangatku.
Aku memang tak patut meyesali kenyataan ini. Tapi persoalan memang harus ada, sampai saatnya aku dihadapkan pilihan yang tak pernah sanggup aku pilih.
Akankah aku terus terang pada orangtua ku dipemalang, atau aku harus berpura-pura tidak mengetahui aku siapa.
Pernyataan seorang teman yang pernah kujadikan pertanyaan abadi kembali merasuki otakku, bahwa aku ini makhluk yang tak biasa sendiri namun slalu sendiri.
Kini pernyatan itu mampu ku berikan jawaban bahwa ternyata aku mempunyai dua diri.

                                                                       **Tamat**




Selasa, 13 Juli 2010

20.07-06-13

Aku, sebut saja Arindra..aku ingin menceritakan satu kisah yang terjadi 3 tahun lalu. Hingga kini masih membuatku menangis, dan entah sampai kapan aku harus menangis.

"Tak terasa ya nduk, hubungan kita sudah berjalan hampir 3 tahun. Bagaimana kalau malam ini kita makan malam di lesehan alun-alun kota???". Ajaknya padaku melepas keheningan suasana kampungku.
"Yang benar mas, mauuu...". Jawabku sedikit manja.
"Ya ayo".
"Bentar, ta' dandan dulu mas biar cantik"
"Ngono yo wes ayu nduk..hehe..".

Bahagia rasa hati ini, sebab jarang sekali aku di ajak jalan ke alun-alun kota solo. Maklumi saja, jarak yang teramat jauh dari tempat kami, sekitar 20 KM. Terlebih baru 3 bulan ini Mas Isno memiliki sepeda motor.
Selang 30 menit berada diatas motor, sampailah kami di tempat yg ramai oleh para pemuda-pemudi seusia kami, mereka sama seperti kami, saling berpasangan. Disana, kami memilih lesehan soto babat, suasana yang terkesan romantis menurutku, karena lampu penerangan yang digunakan hanya berupa lilin-lilin kecil berwarna merah.

"Mas..Mas serius ndak to dengan hubungan ini???". Tanyaku membuka pembicaraan saat itu.
"Sudah, kita makan saja dulu nduk, itu dibahas nanti"
"Yasudah, dihabisin mas makannya"
"Pasti, wong lapar sekali masmu ini..".

Senyum tawa riang menghiasi malam kami, inginku setelah makan adalah membahas tentang keseriusan hubungan yang telah kami bina selama hampir 3 tahun, aku ingin kepastian, aku ingin segera Mas Isno melamarku, karena hati dan raga ini sudah siap untuk itu. Namun, waktu yg tidak menyetujuiku untuk membicarakan ini.

"Sudah larut malam nduk, kita pulang saja ya..Kita bicara dirumahmu saja".
Ucapan mas Isno tentu membuatku sedikit kecewa, tapi apa daya..Meman sudah larut
.


* * *


Sesampainya dirumah..

"Huuhh..pegel juga mas naik motor dari kota kesini".
"Ya besok kita jalan kaki saja naknu".
"Wegah mas, tugel iyo sikilku".
"Haha..haha..".
"Ta' bikinin kopi ya mas, mau ndak???".
"Lha emange jam berapa sekarang nduk, nanti mas pulangnya kemaleman, ndak enak sama ayahmu".
"Ndak apalah mas, sekali ini aja pulang agak malem, Arin masih kangen".
"Yowes, bikin kopi sana, tapi jangan manis-manis".

Segera aku memasuki dapur, Kulihat ayah sedang memasak air.

"Kebetulan yah, Arin mau bikin kopi buat mas Isno". Ucapku yang sedikit mengagetkan Ayah.
"Darimana kamu Rin..??? Ayah pulang dari slametan kamu sudah ndak ada."
"Jalan ke Kota sama mas Isno, ramai buanget lho Yah."
"Kuburan le sepi nduk..Ya sudah, kamu yang tunggu mateng ya nduk, Ayah mau ngobrolin kerjaan dengan Isno".
"Iya Ayah, mau dibikinin kopi juga ndak???"
"Boleh, tapi pake gelas yang besar nduk".
"Iya...eh Yah, tanyain mas isno juga ya Yah, serius apa ndak dengan hubungan ini".
"Lha..Itu urusan kalian berdua Rin, Ayah kan tinggal acc saja. Sudah, hal itu kamu saja yang menanyaken, Ayah keluar dulu, kasian Isno ndak ada yang nemenin".
"Hemmmm...".

Ayahku, yang juga satu bagian dengan Mas Isno ditempat kerjanya memang sudah merestui hubungan kami, bahkan jika benar Mas Isno menikahiku, Ayah akan meminta Isno agar mau tinggal disini, dirumah yg kami tempati selama ini. Bukan tanpa alasan, bila aku ikut dengannya, tentulah Ayah akan merasa kesepian, karena aku adalah anak semata wayang, sementara Ibuku...Mmmmmhhhm...Ibu sudah lama meninggalkan kami berdua.
6 Tahun lalu, Ibu meninggal dunia karena penyakit asma yang berkepanjangan. Aku merasa Tuhan terlalu cepat meminta Ibu.
Sampai saat ini bila aku ingat Ibu, tanpa kusadari aku menangis. Jangankan ingat Ibu, dengar lagu "IBU" karya Iwanfals saja sudah sukses membuatku menangis, terlebih diliriknya yang, "Ingin ku dekap, dan menangis dipangkuanmu..Sampai aku tertidur, Bagai masa kecil dulu".
Ndak sadar, airmata mengalir deras walau hanya sekedar dengar. Seakan-akan, bayangan Ibuku hadir disekelilingku menari-nari namun menangis.


* * *


Kopi pun terhidangkan, kulihat Ayah asyik sekali mengobrol dengan Mas Isno.

"Kopi Ayah taruh didalam saja nduk..Isno, aku ta' masuk kedalam ya..Biar Arindra yang temani kamu ngobrol".
"Nggeh pak.."

"Ini mas kopinya, masih panas banget".
"Iya nduk".
"Tadi ngobrolin apa Mas sama Ayah, kelihatannya serius bener".
"Hanya membicarakan pekerajaan saja nduk".
"Yang bener mas".
"Iya, tanya saja Bapak kalau ndak percaya".
"Arin kira bahas apa gitu,, yasudahlah..Diminum mas kopinya".
"Ini terakhir mas ngopi nduk, besok insya Allah mas berhenti ngopi".
"Halah,,,Mas mana bisa berhenti, daridulu cuma ngomongnya thok".
"Hahaha..yang ini beda nduk, lihat saja besok".

Aku memberanikan diri untuk menanyakan keseriusan Mas Isno padaku.

"Mas..hubungan kita ini gimana???".
"Gimana gimana maksudnya nduk???".
"Ih...Udah deh, jangan bercanda, ini serius !!!".
"mmmh...Gini lho nduk, kamu sendiri kan tahu, keadaan keluarga mas seperti apa..Bisa dibilang blangsak nduk. Apa kamu siap nduk dengan segala kemungkinan yang terjadi menimpa kita nanti..???".
"Sudahlah mas, Ayah itu sudah merestui mas, sekarang semuanya ada di Mas, Arin sendiri sudah siap dengan apapun, asalkan bersama kamu Mas".

Kami berdua terlibat pembicaraan yang menetukan jalan kami, dan aku berharap, iya adalah jawabannya.

"Kamu beneran serius kan nduk...???"
"Apa kamu keliatan bercanda mas...? Jawab Mas....".
"Yasudah nduk, sepulang dari sini, mas akan membicarakan hal ini kepada Ibu, agar bisa ditentukan kapan Mas bisa secepatnya melamar kamu nduk".
"Lalu, kapan Mas bisa untuk memberi kabar kepadaku bahwa benar Mas akan melamarku???".
"Kamu sabar saja sebentar nduk, 2 atau 3 hari kedepan nanti, pihak keluarga Mas akan mengabarkan kesini..Mas pulang ya nduk, Bapak sudah tidur belum, mas mau pamit".

Mendengar pernyataan Mas Isno memang membuatku lega, sepertinya apa yang kuharapkan akan terwujudkan..Hidup selamanya bersama.

"Sebentar Mas, ta' panggilkan Ayah dulu". Tak lama, Ayah keluar..

"Pak'e, kulo wangsul rien nggeh Pak".


"Hio No, ati-ati nang dalan, sepi wes bengi".
 

"Matursuwun nggeh Pak".
 

"Sami-sami".
 

"Wassalamualaikum".
 

"Waalaikumsalam".

Perlahan, semakin jauh Mas Isno dari tatapan ini, aku dan Ayah segera masuk kedalam. Malam ini terasa begitu mengesankan, bahagia ada ku genggam, tinggal menunggu waktu saja untuk dilamar. Aku yakin, Ibunya pun akan memberi restu untuk ini, karena memang, tali silaturahmi antara keluarga kami begitu terjaga, terlebih pada saat Ayah Mas Isno meninggal dunia 3 tahun lalu. Lepas dari perasaanku, rupanya Ayah turut penasaran.

"Gimana Rin, sudah ada kepastian dari Isno???"
"Belum Yah, katanya Ia ingin membicarakannya dulu dengan Ibunya, kita disini hanya menungggu kabar saja". Jawabku dengan tenang.
"Oh, ya..kamu yang sabar ya nduk, Ayah juga berharap, Isno mampu menjadi pemimpin yang baik untukmu Rin..Yasudah, kamu tidur sana, sudah larut malam".
"Amin..Makasih Ayah". Ku kecup kening Ayah, tanda sayangku padanya.

Segera aku memasuki kamar, berkaca pada cermin lemari usang disamping tempat tidur. Menyadari diri ini sebentar lagi akan dipinang oleh seorang lelaki impian, senyum-senyum kecil menggilai wajahku. Hati pun telah bertamasya berada di pelaminan, memakai gaun pengantin bersanding dengan sang pujaan, terlena..Tersadar dari angan-angan ternyata waktu sudah jam 3 malam, tertidurlah aku dipayungi riang.
Begitu dan hanya begitu hingga 2 hari telah berlalu dengan keadaan menunggu. Meski kami hidup di Era yang Modern, hampir semua keluarga yang berada di kampung kami tidak ada yang memiliki handphone, begitupun dengan keluarga Mas Isno. Walaupun ada, aku yakini masih bisa dihitung dengan jari.

Pada malam harinya, selasa 12 juni aku berharap sangat Mas Isno datang membawa kabar, dan Ayahpun merasa demikian.

"Seharusnya Isno kemari malam ini nduk".
"Iya Ayah, Arin juga berharap seperti itu, tapi mana..Sudah jam 9 malam begni Mas Isno belum terlihat". Jawabku dengan nada kesal.
"Mungkin besok malam nduk, kamu tidur saja sana, nanti kalau memang Isno datang, Ayah bangunkan kamu".
"Iya.." dengan wajah memelas memasuki kamar. Entah aku tertidur atau tidak, seperti tengah terbawa oleh angan-angan. Dalam lamunanku, aku merasakan Mas Isno datang menghampiriku secara tiba-tiba dan ia berkata..



"Nduk, besok pagi pihak keluarga mas akan datang kerumah memberi kabar, mas harap kamu siap dengan segala kemungkinan".

"Iya mas". Seketika itu aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, menyadari bahwa itu tadi hanyalah mimpi biasa setelah sebelumnya aku terlalu memikirkan hal tersebut. Namun seakan-akan mimpi itu berkata nyata,aku  merasakan keyakinan bahwa esok pagi akan ada kabar darinya, dan semoga saja itu benar, perasaan yakinku membawaku kembali tertidur.



"Arindra..Arindra..Arindra sayang..Arindra..Bangunlah anakku..Arindra sayang..".

Entah darimana asalnya, wanita bersuara bening nan halus itu terus memanggil namaku hingga membuatku terbangun dari tidur, dan lenyap. Hemmmh..Kulihat didinding kamar, sudah jam 5 pagi. 


       Aku termenung..Suara wanita yang memanggil namaku mengingatkanku akan sosok Ibu. Lalu ku ambil selembar foto Ibu dari lemari usang, menatapnya dengan sayang, tanpa kusadari, airmata telah membasahi pipi.
Aku ingat Ibu...Aku ingin melihat Ibu...Aku rindu Ibu...Ibu........Arindra kangen.....Ibu masih ingat kan, saat aku kecil dulu..Ibu yang selalu mengawasiku akan bahaya...Ibu juga masih ingat kan, saat arin beranjak dewasa, saat bermasalah...Ibu yang yang selalu memberi solusi pada Arin..Ibu..Ingat waktu Arin menangis,,,Ibu yang memeluk dan menenangkanku...Ibu...Arindra kangen....Sebentar lagi Bu..Arin..Arindra akan dilamar oleh Mas Isno Bu...Ibu merestui hubingan Arindra kan Bu..Jawab Bu...Jawab...
 
"Rin....Arin...Kamu kenapa..???". 
Ayah berteriak mengetuk pintu kamarku. Aku membukakan pintu dan langsung memeluk Ayah tanpa berhenti menangis.
"Kamu kenapa nduk??? pagi-pagi sudah menangis".
"Ibu Yah..Arindra kangen sama Ibu...Arindra ingin bertemu dengan Ibu".
"Sudahlah nduk, Ibumu sudah tiada....Ibumu sudah tenang disisi-NYA..Yang penting kita jangan berhenti mengirimkan Doa untuk Ibu..".
"Apa Ayah tidak merindukan Ibu..???".
"Sudahlah...Kamu cepat mandi, lalu buatkan sarapan untuk kita..Jangan menangis lagi".

       Meski pertanyaanku tak dijawab, aku tahu betul, bahwa Ayah sangat merindukan Ibu..Terlihat dari tatapan matanya yang bernanar..Dalam sekali rasa Cinta Ayah terhadap Ibu..Yang seakan-akan sedang berusaha menahan tangis didepanku. Ku buatkan segelas kopi untuk Ayah, segera mandi, untuk menyegarkan diri.
Memasak yang ringan-ringan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini.


"Sekarang ini tanggal berapa to Rin..?". Tanya Ayah ketika sarapan.
"Tanggal 13 Yah..Ada apa???".
"Weh...Ayahmu gajian Rin, mau minta apa kamu, pasti Ayah belikan".
"Mmmhm,,,Arin hanya punya 1 permintaan Yah..".
"Sebutkanlah, Insya Allah Ayah kasih".
"......Ayah hari ini jangan masuk kerja ya Yah, temani Arin sehari saja...Gaji Ayah diminta besok saja..". Pintaku dengan nada sifat, Manja.


Permintaan ku bukan tanpa alasan, aku teringat mimpi semalam yang menyatakan bahwa pagi ini akan ada kabar dari Mas Isno.


"Kamu ini gimana to Rin, ndak biasanya minta yang seperti ini, aneh sekali".
"Bisa apa ndak Yah..???".
"Yasudah, bikinin Ayah surat Izin 1 hari, lalu kasihkan pada Pak Soleh".
"Terimakasih Ayah.....".


Sekejap surat izin sudah kubuat, kutitipkan pada rekan kerja Ayah, Pak Soleh yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah.


"Assalamualaikum". Kuketuk pintu rumah Pak Soleh yang masih tertutup rapat.
"Waalaikumsalam......eh Arindra..Ono opo..??? Biasanya Bapakmu yang marani rene..".
"Iya Pakle, justru itu Arindra kemari..Bapak lagi ingin cuti..Ini suratnya, sampaikan ya Pakle ke perusahaan".
"Wah..pengen beres-beres rumah ya Rin..Persiapan buat dilamar..hahahaha..".
"Ah..Pakle bisa saja...". Celetukan Pak Soleh benar membuatku geli.
"Hahahaha....Paling nanti sore Isno baru kerumahmu, wong hari ini dia masuk kerja Rin".
"Iya Pakle..Yang penting ada kabar..Sudah ya Pakle, Arin pamit..".
"Ya...Salam buat bapakmu Rin..".
"Wassalamualaikum Pakle".
"Waalaikumsalam".

* * *

       Hari ini Ayah tidak hanya sekedar menemaniku, tapi juga membantu menyelesaikan semua pekerjaan dirumah yang dibubuhi dengan canda khas Ayah, dan sangat ku suka, sungguh pagi yang ceria. Setelah semua pekerjaan selesai, Ayah memintaku memberinya alasan kenapa hari ini ia tidak boleh masuk kerja.
"Hei anak manja..kenapa Ayah ndak boleh masuk kerja???".
"Nggak boleh ya Yah Arin minta begitu".
"Bukan soal boleh apa ndak, tapi kalau setiap hari mintamu seperti itu, mau makan bata kamu Rin".
"Gini ya, tadi malam Arin mimpiin Mas Isno, katanya dipagi ini pihak keluarganya mau datang kesini memberi kabar, gitu Yah".
"Hadah...kamu ini Rin,,mbok cuma mimpi ditanggepi serius..Isno kan kerja".
"Wuuuhh...Arin nggak bilang Mas Isno yang mau kesini Yah, tapi keluarganya....".
"Oooohhh hio io yo...hahahahaha..".

       Beberapa saat kemudian, tepat jam 10 pagi, datanglah Ari dan Eko, yang aku ketahui adalah tetangga Mas Isno. 
"Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam Mas Ari, Eko..Dengaren moro rene..". Sapaku penuh senyum, kemudian Ayah pun memperkenalkan diri dan menyambutnya mepersilahkan duduk.
"Aku Sudibyo Hartanto, dan Ini Putriku, Arindra Aryani Hartanto..Silahkan duduk Mas".
"Matursuwun Pak".
"Nduk Rin, buatkan minum untuk tamu kita ini".

Belum beranjak dari tempatku, para tamu ini sudah menolak.

"Ndak usah Rin, kami hanya sebentar disini..Hanya ingin menyampaikan amanah dari keluarga Isno".

"Ada apa ya Mas???". tanya ayahku penuh penasaran.

"Hemmm...Bapak dan Arindra disuruh kerumah Isno sekarang juga".


Ayahku terlihat kaget..Aku pun demikian..Namun tetap, Aku dan Ayah segera berangkat menuju rumah Mas Isno dengan sepeda motor pinjaman tetangga.
Pertanyaan ada apa tentu ada, diperjalanan Ayah bertanya ada apa, dan aku diam saja tak menjawab, sebab aku pun mempertanyakan hal itu.
Sesampainya diperkampungan Mas Isno, jalanan yg relatif terjal berbatu itu mengurangi kecepatan motor yang dikendalikan Ayah. 


"Rin, lha umahe Isno yang itu kan...???".

Dari kejauhan memang sudah tampak rumah Mas Isno, namun terlihat ramai oleh orang-orang berpakaian Muslim.
"Iya Ayah..".
"Kok ramai yo nduk".
"Nggak tahu Yah, Arin juga bingung".
"Kamu mau langsung di Akad ijab Kabul mungkin nduk".
"Ah Ayah".

Semakin dekat dan mendekat , Bendera Kuning jelas terpampang di pelataran rumah.
Aku dan Ayah turun dari sepeda motor, dipayungi kebingungan tak mampu melangkahkan kaki..Sang Ibu menghampiri menyambutku dengan pelukan penuh tangis.
"Ibu....Ini ada apa to Bu, jelaskan kepada Arin...???". Aku bertanya setengah menangis.
"Isno Rin...Isno..".
"Mas Isno kenapa Bu..???". 


Dijawabnya dengan nada semakin sedu..

"Meninggal Rin..Isno meninggal....".


"Apa.............................!!!!!!!!!!!!!!!!!".


Kembali aku dipeluknya..
Hati bergetar sangat..
Energi tak lagi kuat..
Rasa percaya yang nyaris berkarat..
Airmata sederas hujan berlinang dipipiku membasahi tanah..


Innalillahiwainnalillahirajiun


"Mas...Mas Isno...Mas..Mas...Begitu cepatnya kanu ninggalin aku Mas...Mas Isno.......!!!!!!".
Dengan segenap tenaga, ku coba menanyakan penyebabnya..
"Ibu..Bagaimana mungkin ini bisa terjadi??? Ibu bohong kan...Ibu cuma ngerjain Arin kan bu....".
Perlahan, dengan suara yang tidak begitu tertata, Ibu mulai menceritakan..
"Tadi pagi, sekitar jam 9 pabrik tempat Isno bekerja...
Terbakar Rin....Ia dan 6 Temannya tidak terselamatkan saat sedang menuju rumah sakit...Ia meninggal Rin.. ". 
Tangisan semakin menghujam Ibu..
Tak terkecuali aku..
Dunia dimataku gelap...
Tak lagi ada warna...
Tak ada lagi yang terbayangkan dihari depan...
Hanya airmata yang tetap tercipta...
Meledak-ledak tak percaya...
Terasa...
Hingga...
Tak sadarkan diri...

       Siuman, saat malam tiba..hanya Ayah yang kulihat diruangan yang tampak asing, Ayah menangis memandangku. Dibalik dinding ruang itu terdengar sekumpulan manusia sedang membacakan ayat-ayat suci.

"Ayah...Ada apa...Kok nangis...???".
Ayah tahu aku tersadar, memelukku...tanpa menjawab tanyaku yang polos.
"Ayah..kita ada dimana...? Diluar itu siapa yang mengaji Yah...???.

Tangisan Ayah yang semakin keras, memelukku erat...
"Kamu yang sabar ya nduk..sabar..Semua ada hikmahnya..Allah punya pilihan yang lebih baik untukmu nduk...Ikhlaskan nduk...".
Airmata ayah membasahi bahuku, aku teringat..Aku sadar...
Ya..Aku sadar bahwa Mas Isno telah meninggalkan kami semua untuk selamanya..

Amarah mengepul dalam dada..

JAHAT...!!! 
KAMU JAHAT MAS...!!!
KAMU TEGA NINGGALIN SEMUA...!!!
APA INI BUKTI KAMU BERHENTI MINUM KOPI !!!!!!!
APA INI BUKTI SAAT KAMU DATANGI MIMPIKU MAS !!!!!!

Amarah dan tangisan sudah sulit dikendalikan....

KATAMU, AKAN MELAMARKU..KATAMU, KITA AKAN SELAMANYA BERSAMA...MANA MAS....MANA......KAMU KEMANA MAS....!!!!!! 

"Sudahlah nduk,,,,sudah.....Ia sudah tiada..Ini sudah kehendak-NYA, kita sebagai manusia memang hanya bisa merencanakan...".

Aku memeluk ayah dengan erat, sejenak akal sehat telah kembali..mengingatkanku..Seandainya dihari itu, Ayah tetap kubiarkan bekerja..
Tak ingin aku membayangkan..



* * *

       Hari demi hari, bulan demi bulan telah berlalu, bahkan sampai sekarang, duka dan luka ini masih dalam, amat dalam. Walau tidak sering, Mas Isno kadang hadir menemaniku dalam mimpi. Hal itulah yang membuatku selalu menangis, entah sampai kapan. Juga aku tak tahu, akan sampai kapan orang-orang yang dekat denganku, selalu ku suguhkan senyum palsu, canda palsu, tawa palsu, perkataan palsu, dan bahagia semu.
Yang hatiku tahu, aku masih berduka....Satu-satunya yang ku syukuri dari peristiwa tersebut ialah, aku tidak kehilangan Ayah tercinta. Meski tetap saja, aku belum mampu menerima kenyataan ini sepenuhnya.

       20.07-06-13 Angka yang sampai saat ini ku benci. Di angka itu, tercatat memori kelam masa laluku.
20 usiaku saat itu, 6 tahun yg lalu, Ibuku meninggal pada tanggal 13 bulan 7 (juli).  7, jumlah korban tewas, termasuk Alm. Mas Isno, juga di tanggal 13.
Sementara kini, Ayahku tengah berusia 44 tahun. Jika benar angka itu akan menelan korban lagi, maka 2 tahun kedepan (20+06+07+13=46), aku harus siap kehilangan Ayah. Dan semoga saja itu tidak benar.
***Tamat***











Sabtu, 03 April 2010

Dibawah Langit Blora


Pagi itu, lama sekali rasanya menunggu jam..3 jam lagi aku bisa keluar dari sel yang pengap ini.
Tak terasa 6 Tahun sudah akumendekam disini, dalam kurun waktu itu pula aku tak pernah bertemu lagi dengan istriku, maupun teman-temanku.
Menyedihkan memang, di setiap malam saat selesai shalat isya, sering aku menangis ingat anak dan istri yang sangat kurindukan.
Yaa, aku menikah 8 tahun lalu, dan dikaruniai seorang anak perempuan, bernama Nurul Azizah. Saat usianya menginjak bulan ke-4, terjadilah suatu peristiwa yang mungkin sangat tidak masuk akal, namun nyata, dan peristiwa itulah yang membawaku mendekam disini.

.... sore, menjelang magrib sepulang kerja, aku berjalan menuju rumah menyusuri sawah desa..Pemandangan yang asri cukup melepas lelahku. Di pesawahan itu terdapat satu gubuk dimana aku sering merebahkan diri sejenak untuk menikmati indahnya senja hari.
Di gubuk itu slalu ada Pak Kirman yg biasanya selalu menantiku untuk pulang bersama bila adzan magrib terdengar.
Pak Kirman adalah sebagian besar pemilik sawah di desaku, banyak warga yg bekerja menggarap sawahnya, ia terkenal baik ramah dan murah hati.

Namun pada hari itu tak seperti biasanya, ku lihat Pak Kirman sedang tertidur tengkurap..Tak ingin mengganggunya, aku duduk cuek saja sambil menikmati sebatang rokok kretek yang tersisa.
...Adzan telah berkumandang, aku pun membangunkan Pak Kirman dari tidurnya..

"Pak..Bangun Pak..Sudah Maghrib..Ayo pulang.."

Sambil menepuk bahunya, terasa kaku..

"Pak..Pak.."

Tidak ada jawaban...
Mungkn ia sangat lelah,,pikirku..
Sampai adzan telah selesai, Pak Kirman belum saja terbangun...
Aku mulai kebingungan, dengan paksaan hati, aku membalikkan posisi tidur Pak Kirman dari posisi semula yang tengkurap.
Setelah berhasil membalikkan posisi tidur Pak Kirman, kulihat wajahnya begitu puca,,tak terasa degup jantungnya,,tak terdengar dengus nafasnya..

Astagfirulllah...!!!
Pak Kirman...!!!
Innalillahi wainnaillaihi raji'un....
Aku kaget bukan kepalang..Tak menyangka Pak Kirman telah meninggal..Entah apa sebabnya..
Karna disekitar pesawahan tak yerlihat ada seorang pun, dengan terpaksa aku membopong jenazah kerumahnya..
Ketika sampai dijalanan desa, banyak para tetangga mengerumuniku sambil bertanya kenapa..kenapa..dan kenapa..
Dan aku hanya diam saja tak menghiraukan pertanyaan itu. Sesampainya dirumah Almarhum yang hanya ada istri dan kedua anaknya yg masih kecil-kecil, aku menyerahkan jenazah Pak Kirman pasa istrinya..
Spontan..Sang istri menangis tak karuan tak peduli dengan orang-orag sekitarnya..

Perlahan-lahan, aku menceritakan kejadian yg menimpa suminya itu dengan apa adanya. Namun, tak lama para Polisi pun datang,,sejenak menemui istri Almarhum..Tanpa alasan yang jelas, kedua tanganku langsung di bungkam dengan borgol dan diseret kekantor.
Terang, aku tak mengerti apa maksud ini semua..
Saat dimintai keterangan, aku menceritakan apa adanya kejadian sore itu pada para pemeriksa..
Rupanya, Istri Almarhum tidak mempercayai itu..Ia menuduhku,,bahwa akulah penyebab meninggalnya Pak Kirman.

Tanpa melewati proses apa-apa lagi, para polisi pemeriksa langsung menjeratku dengan pasal-pasal yang tidak pernah aku lakukan..Lalu, dengan pasal itu pula aku divonis 6 Tahun penjara.
Mendapati itu, diriku sangat terpukul..sangat..!!!
Bukan karena aku akan mendekam di penjara, melainkan terpukul karena sikap sang istri Almarhum yg sudah menuduhku..Padahal, hubungan sosial kemasyarakatan antara kami sangatlah baik..Hampir tak ada masalah.
Namun, hukuman itu telah menimpaku, tanpa daya aku harus menjalaninya...

Setelah 3 Hari ditahan, istriku Laila menjengukku, menangis ia melihat keadaanku..Sungguh aku sejuk hati bila menatap istriku..Ia memberiku semangat..Pencerahan agar aku tabah menjalani ini..ia menyarankanku agar slalu taat pada perintah sang Pencipta..Karena di Tangan-NYA lah keadilan kekal..

Sayang, waktu jenguk sel itu hanya 15 menit..
Istriku pamit pulang untuk mengurusi anak kita, Azizah..

3 bulan pertama, Istriku rajin menjenguk..Namun setelah itu sampai aku hendak bebas dari sel, tak ada kabar sama sekali dari istriku.

"Ya Allah..Aku merindukan mereka..Pertemukanlah kami Ya Allah"
Doaku, sesaat sebelum keluar dari sel....

..sipir datang, dan membuka gembok selku..
"Saudara hari ini bebas..Jangan di ulangi perbuatan bdohmu itu" Pesan sipir padaku..
"Terimakasih Pak"
Aku pamitpada rekan-rekan senasip yg masih mendekam disitu dan pamit pada sipir..Lalu sipir itu memberikanku uang untuk pulang kerumah..Tidak besar memang, tapi cukuplah..

Akhirnya, aku bisa melihat dunia kembali..senangnya aku..Tujuan utama jelas, menemui Istri dan anakku..karena memang tak ada tujuan lain...
Hampir 6 tahun tak bertemu,,seperti apa istriku sekarang,,tambah cantikkah,,atau sudah keriput..haha gelisekali membayangkan itu...
Lalu bagaimana dengan anakku Azizah..wah..Pasti cantik seperti Ibunya..haha..
Semakin dibayangkan..semakin rindu saja hati ini..Tak ada kesabaran lagi untuk segera berjumpa...
Sampai diterminal Kabupaten Blora, aku menaiki minibus yg menuju desaku..
Hemmmm..dasar terminal, slalu saja ada pengamen berkeliaran..tak peduli terik panas matahari, 3 orang pengamen masuk bus yg ku naiki..
Mereka memberikan kata sambutan, dan aku senyum-senyum saja..
Wah...Ternyata mereka menynyikan lagu "Terminal" karya Franky dan Iwan Fals..
Pas sekali rasanya..mereka cukup menghiburku, mengingat 6 tahun sudah aku tak lagi mendengar musik..

Lah...!!!
Berarti ini pengamen rupanya lagu pertama yang kudengarkan setelah 6 tahun...???
Wah...Wah..Kok gak sadar aku yak...Haha...

Walaupun aku sangat menikmati kerja mereka dengan cara bernyanyi, aku tak memberinya uang sepeserpun...
Takut kurang ongkosku...Hahaha...

Ah,,minibus ini terasa lamban sekali..tak sabar aku ingin segera jumpa..
"Aku ingin memeluk mereka.."
"Aku ingin melihat tawa mereka.."
Hati terus saja bergumam membayangkan Anak dan istriku..
Tak jelas membayangkan apa, yg penting sebentar lagi ku berjumpa...

Uuuhh...Akhirnya sampai juga..
Aku berjalan riang menyusuri pesawahan, panas yang terik, keringat ini menemaniku..
Sepi sekali, tak nampak ada warga yg bertani,,mungkin sedang pulang kerumah masing-masing untuk makan..
Aku melihat gubuk tempat terjadinya peristiwa itu,,hampir tak berbentuk..Sudah rusak tak karuan..Tak ada yang merawatnya mungkin..Karena sewaktu dulu pun, hanya Alm. pak Kirman yg mau merawat gubuk itu.



Sesampainya di jalan desa, aku bertemu dengan Narto, teman yang setia mendengar keluh kesahku..Usianya memang jauh lebih tua dariku, terpaut 8 tahun..
Pada saat kejadian, Narto sedang merantau ke kota Semarang..
Ia disemarang bersama istrinya, namun yang ku tau, ia tak beranak..

"Oi Kang Narto...?"
Sapaku sedikit berteriak...
"Woi...Wah...Sudah keluar kamu ..? Gimana kabarmu geng..???"
Kulihat wajah Narto tersenyum namun agak kaget dimatanya..
Seraya berjabat tangan, terjadilah komunikasi..
"Kabarku baik kang....Akang sendiri gimana...?
"Alhamdulillah baik juga...Ayo, duduk dulu dibawah pohon.."
Ia menawarkan..aku mengiyakan saja, sebab ingin menolak pun segan sekali..
Narto pun membuka bahasan..
"Aku sudah mengetahui semuanya...Aku minta maaf tak bisa membantumu.."
"mmm..Tak apalah kang.."
"Kamu tau tidak...Hampir semua warga disini mempercayai baahwa kamulah pelakunya.."
Jidadku sedikit mengkerut..Sambil bertanya..
"Dan akang percaya..???"
"Aku???Jelas enggak lah geng..Aku tau kamu,,membunuh bukan karaktermu.."
Namun ia menanyakan, mungkin karena penasaran akan kebenarannya..
"Tapi memang bukan kamu tow pelakunya...???
"Terserah akang sajalah...Percaya atau tidak, semuanya sudah aku jalani.....Percuma aku bilang A atau B..Toh, hukuman itu sudah gak berlaku.."
"Iya si geng.."
"Yasudahlah kang,,aku mau pulang dulu..aku ingin bertemu anak istriku.."
Aku berdiri dan berlalu.namun Narto ini memanggilku..
"Sugeng.....!!!!"
Aku menoleh kebelakang..
"Laila ada dirumahku..!!!" sahutnya....
"Lho....kok...???" ...
"Ayo ikuti aku" ajaknya..
Tanpa ku jawab, ku ikuti langkahnya..

Dalam perjalanan, aku bertanya..
"Apa anakku juga ada dirumahmu kang...???"
"Lihat saja nanti..semuanya ada disana..."
Aku bingung,,penasaran,,heran,,kenapa istriku ada dirumah Narto..Tanyaku dalam hati..

Ketika sampai dirumah Narto..
Ia pun mengetuk pintu lalu memanggil...
"Dek...Dek..Dek Laila...."
Hah Dek....??? Sejak kapan Narto memanggil Dek pada istriku..?
Hatiku semakin bertanya-tanya...
Tak lama kemudian..keluarlah Laila, istriku..Dengan mimik muka yang terlihat kaget ketika melihatku..

"Mas Sugeng.....???"

"Iya, ini aku nduk,,Sugeng, suamimu..."
Ia memelukku..menangis ..

"Maafkan aku mas..maafkan..."
Aku tak mengerti ..Ku lepas pelukannya..

"Ada apa tow nduk..Kok kamu nangis...??? Anak kita, Azizah mana...???

Laila terdiam, namun tak menghentikan tangisannya..
Narto lah yg menyahuti...

"Sugeng itu belum tau apa-apa dek..."

"Sebenernya ada apa tow ini...???Aku benar-benar tak mengerti.."

Kulihat raut wajah Narto, juga tampak melas..
"Sudah dek,,kamu saja yang bercerita.." Pinta Narto pada Laila...

Perlahan-lahan....Istriku Laila mulai memaparkan walau tangisnya terus saja terdengar..
"Sebelumnya..Aku minta maaf mas..Semua ini bukan kemauanku,,juga bukan salah mas Narto...
Sejak kejadian itu,,Tak henti-hentinya warga disini mencemooh aku sebagai suami pembunuh..Sehingga tak ada lagi yang memberikan aku pekerjaan..Aku benar-benar tak sanggup mas..Sakit hati ini bila warga menghina keluarga kita..."

Tangisannya semakin menjadi....membuatku turut menangis...

"Hingga saat,,anak kita yang pada waktu itu baru berusia 2 tahun..Meninggal karena aku tak sanggup membeli obat saat ia terus-terusan sakit mas...
Maafkan aku mas...maafkan..
Hidupku semakin tak karuan mas...Aku ingin pergi dari desa ini, namun aku mencoba bertahan disini untuk menunggumu mas..
Beruntung...mas Narto kembali tinggal di desa ini, karena istri mas Narto, meninggal akibat serangan jantung..
Hanya mas Narto yang mengasihani aku mas..Ia sering memberiku nafkah secara diam-diam.."

Narto pun mulai meneteskan airmatanya, yg pertama kali aku lihat sejak mengenalnya..

Aku sungguh tak bisa menyembunyikan tangisanku..

Hingga pada suatu hari..Mas Narto mengajakku menikah karena memang ia tak bisa memberiku nafkah terus menerus, karena bukan haknya untuk menafkahiku..
Dengan tekad hati untuk tetap bertahan menunggumu,,aku menerima ajakan mas Narto untuk menikah..
Mas Sugeng,,sungguh maafkan aku.."

Ia memelukku erat....tangisannya membuat hatiku tak bisa berbuat banyak......

Aku menangis diam tak berdaya...Aku menangis diam tak percaya...

"Jadi sekarang ini kamu menjadi suami Narto...???
Kang Narto...!!! Sejujurnya aku sangat marah padamu..
Kamu telah mengambil istriku.."

"Sugeng..Maafkan aku..Aku tak berniat untuk itu..Pada awalnya semua ini kulakukan demi kehidupan istrimu..Aku memang kasihan melihat keadaannya...Namun seiring berjalannya waktu..maaf mas..Aku telah mencintainya...Maafkan aku mas...maafkan..."

Mendengar semua penjelasan itu,,aku pun merasa tak berhak untukmenyalahkan siapa-siapa..Posisiku lah yg salah..Tak seharusnya aku ada dengan keadaan seperti ini..

Narto menangis..Laila sama saja...
"Laila..Aku yang seharusnya minta maaf,,aku tak bisa membuatmu bahagia..Aku tak bisa menghidupi Azizah.."

Kejadian ini mengutuk masa lalu ku yang kelam..
Kenapa aku tidak berontak saat aku dihadang para Polisi..
Karena memang bukan aku yang membunuh Alm. Pak Kirman..Aku hanya tertuduh oleh istrinya..

Rumah Narto seperti ada yg mati..Semua menangis, tak terkecuali aku...

Lalu aku bertanya pada Laila..
"Dimana kamu memakamkan anak kita...???"

"Makam Azizah ada di samping rumahmu mas.." Sahut Laila dengan tersedu-sedu menahan tangisannya...

" Kang Narto...Aku berterimakasih telah menghidupi laila..Aku minta, tolong kamu jaga istrimu..Jangan lagi buat ia bersedih seperti yang telah aku berikan padanya...Aku merestui kalian..Dan tolong..lupakan aku dari ingatan istrimu...Mencintai Laila adalah mencintai Hidup"

Langsung aku berlari menuju rumahku walau Narto dan Laila terus memanggilku dan mencoba mengejarku,aku tak peduli..Aku ingin menjumpai Makam anakku..Berlari aku sekencang-kencangnya..

Tampak sudah didepan mataku..Nisan bertuliskan "Nurul Azizah"...Kupeluk erat..Seluruh airmata kutumpahkan dimakam itu..
"Maafkan Bapakmu nduk..Bapak gak bisa menghidupi kamu..Jangan salahkan Ibumu nduk..Bapakmu lah yang salah..Bapak memang pantas dijiluki pembunuh..Bapak telah membunuhmu nduk..Maafkan bapak...bapak sayang kamu..bapak sayang Ibumu..Semuanya sudah hilang..Tinggallah Bapak sendiri nduk..Maafkan Bapak.."



**Selesai**







Rabu, 31 Maret 2010

Perempuan Itu Ternyata......



......Aku teringat masa lalu, perempuan itu kembali dalam
lamunanku......

Ia tersenyum, memanggilqu halus nian suara itu..Mengetahui itu, aku
hampiri ia..Dari kejauhan, aku kurang mengenali dirinya, tak ku duga, ia
ternyata perempuan yang ku kagumi & ku cinta..Hanya saja ia tak
pernah tau bahwa ia begitu ku kagumi....

Pertemuan itu begitu singkat..

Ia hanya mengundang aku untuk datang di acara pernikahannya sebulan
kedepan dan ia pamit untuk pulang ke kampung halamannya..Walau singkat
aku sempat diberi nomer telpon rumah d kampungnya, maklum..Ia menikah
bukan dikota rantau, Jakarta, melainkan dikampung halamannya, Kudus..Ia
meminta, dihari -1 aku harus sudah datang di kota tersebut..

Kulihat dari tatapannya, aku mengetahui bahwa ia seakan-akan sangat
mengharapkan kehadiranku..Tanpa ia bertanya, aku meyakinkan bahwa aku
pasti datang pada acara tersebut...

Setelah pertemuan itu, semakin hari aku merasa semakin kehilangan yang
teramat sangat..

Jelas rasa kecewa ada, karena aku begitu mencintainya yang sebentar lagi
ia akan menikah...Tapi, itulah kenyataan, kadang tak sesuai dengan
harapan...Disatu sisi, hampir setiap malamku ia selalu SMS disaat ku
sudah tertidur,,isi SMS itu sederhana hanya beberapa kalimat saja, namun
mencengangkan hatiku..

"Met tidur temanku yang paling jelek :-)"

"Aku akan menunggumu di acara ku nanti, karena kamu adalah tamu spesial
untukku"

itulah sebagian isi SMS darinya, bahkan ia sempat mengancamku jika tak
datang

"Aku akan menghantuimu bila aku tak melihatmu disini"


Waktu terus berlalu,,tak terasa seminggu lagi acara tersebut
terlaksana..Aku harus datang,,Harus..aku terus meyakinkan hati dan
jiwaku untuk tetap menghadiri acara itu..



Dimalam hari, aku sangat sulit sekali tuk memejamkan mata, tak se[erti
biasa, aku selalu teringatnya..

Tepat jam setengah satu dinihari, HPku berdering, ternyata ia
menelponku,,dengan agak panik aku mengangkat telpon itu..

"Halo assalamualikum" sapanya.

"waalaikumsalam,,tumben nelpon,,ada apa..?"

"Gak kenapa-kenapa,,kangen aja sama kamu" jawabnya sambil menangis.

"Lho kenapa menangis..?"

"Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi dihari nanti..Mungkinkah aku
mampu membahagiakannya, atau aku hanya bisa membuatnya terluka"
urainya, lengkap dengan suara isak tangis merdunya.

"Sudahlah,tak perlu kamu berpikir seperti itu..Berdoa saja"

Belum selesai aku berbicar, telpon kami terputus..

Aku berinisiatif tuk menelpon ia, namun sudah tak aktif,,

"Ah,,batrenya lowbet paling" pikirku.


Akhirnya..



2 hari sebelum acara tersebut, aku berangkat menuju kudus..Dengan
persiapan yang begitu matang, aku telah memepersiapkan kado untuknya yg
berisibuku novel berjudul "Perempuan Itu Ternyata......."

yang aku ketahui, ia sangat menginginkan novel itu sedari dulu.

Dalam kado itupun aku menyelipkan secarik kertas surat untuknya
berisikan pernyataan bahwa aku begitu mengaguminya & sangat
mencintainya, dan tak lupa juga ku ucapkan selamat kepadanya...

Didalam Bus yang mengantarku ke tujuan, setelah istirahat sejenak untuk
makan malam, aku merasakan getaran hati begitu kuat..semakin dekat
dengan kota tujuan, semakin hatiku ini jauh tertinggal..

Lalu,,dimalam itu ia menelponku.

"Assalamualaikum.."

"Walaikumsalam " jawabku.

"Sudah sampai dimana..?"

"Tenang aja,,sebentar lagi juga sampai kok, paling 3 jam lagi"

"Yasudah,,aku istirahat dulu ya"

"Iya,,met istirahat ya.." enteng saja jawabku...


Setelah mendapat telpon darinya,,aku tertidur...



Saat ku terbangun,,bus telah tiba di terminal kota kudus, semua
penumpang telah turun serentak, begitupun aku...

Saat aku berjalan menuju sebuah warung kopi, untuk istirahat
sejenak,,ternyata ia sudah menungguku di warung itu..

"Mungkin ia ingin menjemput tuk mengantarku kerumahnya" pikirku.

Wajahnya agak pucat pasi...Wajah yang saat itu terlihat aneh dimataku...

Rupanya ia tak akan mengantarku,,ia hanya memberikan alamat yg lengkap
menuju rumahnya...Aku disuruh kerumahnya pada saat itu juga, dan ia
berkata ingin istirahat dulu disini karena lelah..Ketika ku berniat
ingin tetap bersamanya dan pulang kerumah secara bersama, ia hanya
tersenyum seraya berkata..

"Apa kata orang-orang nanti kalau aku jalan bareng denganmu,,sedangkan
aku sudah punya calon...Aku kesini,,bilangnya sama orang dirumah karna
mau belanja..Kamu ngerti kan..."


Mendengar penjelasannya, aku meng-iyakan saja karena memang menurutku
alasannya cukup logis...Aku bergegas kerumahnya seorang diri, didalam
mobil angkutan yg tidak begitu penuh,,ia kembali menelponku..Tanpa
diberi kesempatan untukku berbicara, ia berkata..



"Nanti kalo sudah sampai, bilang aja ke orang rumah kalo kamu temen aku
dari Jakarta..Pasti orang rumah ngasih kejutan buat kamu"

Aku tak mengerti apa maksudnya..Aku penasaran..Hati berdebar tak
karuan..

Turun dari mobil angkutan,,langkahku semakin ragu tak menentu..

Rumah yang ku tuju mulai tampak dari kejauhan...Ramai sekali orang-orang
disana..Kupikir orang-orang dirumah itu adalah para saudara dan
tetangga yang turut serta membantu untuk acara yang dilaksanakan esok
hari.

Semakin dekat aku dengan rumah itu, langkah kaki semakin
pelan..bingung..karena disekitar rumah itu ada beberapa bendera kuning
terpampang..

"Siapa yang meninggal..???"

"Salah alamatkah aku melangkah...???"

"Dimanakah rumah yg aku tuju jika memang bukan disini..???"

Tanyaku pada hati......................
..


Seorang bapak tua mengagetkanku dalam lamunan...



"Ade siapa...?" tanya Bapak Tua itu sambil bersalaman denganku..

"A..aa..ku..Bbbudi pak,,ttttemannya Aini dari Jjjakaarta.." Jawabku
dengan penuh gugup....

Kulihat,,bapak itu serasa menahan tangis ..

"Ayo nak Budi, masuk kerumah.." ajaknya sopan...

Berjalan aku menuju pintu masuk sembari bersalaman dan tebar senyum
palsu kepada orang-orang yang ada disekitarku..disatu sisi, hati ini
dipenuhi pertanyaan tak karuan..

"Nak budi,,lihatlah...."

Sesosok jenazah tepat ada di hadapku.."Siapa ini Pak...??"

Bapak itu menangis..

"Ia temanmu Nak..Lihatlah..."

Ketika kulihat jenazah itu...

Astagfirullahaladzim..!!!!
!!

Innalillahi wainnaillaihirajiun...

AINI................!!!!!!
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Tak mungkin..Tak mungkin ini bisa terjadi...ini tidak mungkin...!!!!!

Aku tak percaya...benar-benar tak percaya....sungguh........
.......

Bapak itu menceritakan dalm tangisnya..

"Ia anakku Nur Aini Hidayah....Tadi malam..Ia meninggal dunia karena
penyakit yang dideritanya sejak kecil, kanker otak..Sebelumnya ia dibawa
kerumah sakit,,namun Allah berkehendak lain, Allah telah mengambilnya
terlalu cepat..Saat masih hidup, anakku menyadari bahwa usianya tak akan
panjang..Ia bercerita, bahwa ia merasa bahagia, karena dalam hidupnya
yang singkat ini, ia masih diberi kesempatan oleh Allah untuk
mendapatkan Laki-laki pilihannya, walaupun ia tak sempat menikmati
pernikahan..tapi itu sudah cukup membahagiakan baginya..."


Aku tak kuat lagi menahan tangis yg begitu hebat...kesedihan sekejap
memenuhi diriku saat itu juga.....



Aku masih tak mempercayai hal ini nyata terjadi ...


Siapa tadi malam yang menelponku menanyakan aku sudah sampai
dimana...?????



Siapakah yang ada diterminal itu yang memberi aku alamat rumah
ini....?????

Lalu,,siapa yg menelponku pada saat aku ada didalam mobil
angkutan...???????


Ya Allah...



Aku percaya bahwa ENGKAU selalu memberi yang terbaik untuk umat-MU...

Aku tak ragukan itu...

Tapi mengapa begini cara-MU Ya Allah....?????

Mengapa....?????


Pilu..Perih...Pedih...Pera
saanku
benar-benar kalut......

Aku memeluk Bapak Aini, tetap menangis tak tertahankan.......

Aku menanyakan..

"Dimana calon suaminya sekarang...??? Aku ingin menemuinya..."

Tanpa menjawab pertanyaanku,,Bapak itu mengajakku masuk ke kamar Aini..

Terlihat bapak itu mengambil sesuatu...lalu, sang bapak memberikan
sebuah surat kepadaku...

"Nak budi, bacalah surat ini,,Aini yang mengirimnya untuk bapak saat
Aini masih berada dikota rantau...Bacalah Nak.."

Jelasnya kepadaku..Dan ku buka isi surat tersebut...


"ASSALAMUALAIKUM"



Bapakku tercinta...

Aini kangen banget...Minggu depan Aini pulang ke Kudus..

Oh iya Pak, Aini disini sudah punya calon suami pilihan aini..Namanya
Budi...Semoga Bapak merestui Dia sebagai calon suami Aini...Dimataku,
Budi baik pak...

Mungkin..Dia akan dateng kerumah kita bulan depan...

Sampai sini dulu ya pak..

Minggu depan Aini pasti cerita banyak didepan bapak..

"WASSALAM"


Begitulah isi surat dari Aini....




"Kamulah Nak calon suami Aini.." tutur sang bapak...




Aku tersentak..serasa benar-benar ingin menyangkal semua ini...Tak
berkutik aku di sudutkan keadaan...Rasa tak percaya masih terus
menyelimuti diriku...




Perlahan-lahan, aku menyadari sejak ia mengundangku untuk datang
kerumahnya, dari situlah tanda-tanda ia inginkan aku melihatnya
terakhir kalinya...




Sampai saat ini,,Aku masih berat untuk percaya, yang sebenarnya nyata...




Aini..Semoga tenang kau di Surga...



Aku selalu berdoa untukmu...

Takkan kulupakan semua ini...

Aku Cinta Kau....

Terima kasih Aini....