....Harapan Tak Boleh Mati...

...Ketika saya bertanya siapa saya...

Sabtu, 28 Agustus 2010

Biografi Prie GS


Prie GS mengawali kariernya sebagai wartawan di Harian Suara Merdeka Semarang. Tetapi seniman dan budayawan itulah sebutan yang kini melekat kepadanya. Ia pernah memperdalam piano dan gitar klasik. ‘’Musik bukan jalan hidup saya,’’ katanya. Hingga kini ia masih menjadi kartunis dan pernah pamaren di Tokyo Jepang atas undangan The Japan Foundation. ‘’Kartun menjadi rekreasi yang sehat untuk mental saya,’’ katanya. Di Jepang ia sempat berdiskusi satu meja dengan para komikus dan animator top negeri itu.
Menjadi pengamat itulah akhirnya keasyikan orang ini. ‘’Mengamati apa saja. Paling asyik adalah mengamati segenap kelucuan di Indonesia,’’ katanya. Pekerjaan yang kurang jelas itulah akhirnya yang memberi atribut budayawan kepadanya. ‘’Jadi kalau pekerjaan Anda tidak jelas, sebut saja sebagai budayawan,’’ tambahnya sambil tergelak.

Dengan atribut itulah, Prie GS bisa masuk ke segenap wilayah dengan gayanya sendiri. Ia bisa berceramah dengan gembira di depan anak-anak jalanan hingga tampil di hotel-hotel berbintang. Ia pernah diundang oleh FX Hadi Tjokrosusillo dan James Gwee untuk bicara di tengah sekitar pengusaha top Jakarta, diundang ke Mabes Angkatan Laut Cilangkap untuk memberi refleksi sosial di hadapan para jenderal dan para perwira Angkatan Laut. Berbagai institusi besar pernah disambanginya antara lain PT Indofood, PT Telkom, PT Coca-Cola, Indonesai Power, Bank Indonesia, PT PLN, PT Telkomsel, aneka bank, asuransi dll. Ia kini sibuk sebagai pembicara di seminar lintas tema mulai dari politik, kebudayaan, sosial hingga bisnis. ‘’Itulah kenapa saya disebut sebagai budayawan, Ngomong apa saja boleh!’’ katanya. Humor memang soal yang terpisahkan dari tokoh ini. Merenung sambil berhumor itulah yang mewarnai seluruh seminarnya.
Ia lebih suka menyebut kontribusinya itu sebagai refleksi. Refleksi Bersama Prie GS adalah talkshow-nya di SmartFM yang disiarkan di 11 kota di Indonesia setiap jumat malan pukul 119.00 WIB, sebuah talkshow yang oleh pendengarnya disebut sangat mengoda. Untuk itulah sebutan Penggoda Indonesia disematkan kepadanya. Di dalam refleksinya Prie GS bisa bicara apa saja secara mengejutkan untuk soal-soal yang sering banyak kita lupa. Karyanya, Sketsa Indonesia, menggemparkan dunia karikatur radio di Indonesia. Sebuah karya yang membuat hampir seluruh televisi di Indonesia meliriknya, tetapi hingga saat ini belum dilepasnya. ‘’Ia sangat radio. Biarlah ia cuma milik radio,’’ kata Prie GS. Kini ia menetap di kota yang amat dicintainya, Semarang.

Kamis, 19 Agustus 2010

Alif Menjerit


       Seorang anak bernama Muhammad Alif Febriyanto. Ia baru berumur 6 bulan.
Dia mengidap penyakit hydrochepalus dengan ukuran lingkar kepala 65cm (yg tiap harinya semakin membesar).
Keluarganya tidak bisa mengobati lebih dikarenakan terbentur masalah dana.
Ia lahir dari keluarga miskin, ayahnya hanya seorang buruh, dan ibunya tidak bekerja (IRT).

Sejauh ini, belum ada jamkesmas maupun bantuan dari pemerintah setempat.
Ia beralamat di desa Tlogosari RT 08 RW 04, kecamatan tlogowungu, kabupaten Pati. Jateng.


NB: Tujuan posting ini, agar para pembaca dapat memahami, membantu, setidaknya menyebarluaskan.
Bagi yang ingin membantu secara materi, bisa dengan cara transfer.
No. rek : 0199813338 (BNI)

Informasi ini hanya copy paste, hanya saja bahasanya saya edit .
Sumber: Salah 1 Grup di jejaring sosial Facebook.
Informasi lebih lanjut : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000194440776&v=wall#!/group.php?gid=131402700237431&v=wall

Senin, 02 Agustus 2010

Aku Tak Sendiri

       Kesepian, kesunyian, keheningan hati selalu hadir menemani malam-malamku. Seperti dimalam ini, ingin rasa berteriak sekencang-kencangnya melawan keadaan. Dari jendela kamar yang tersingkap, kulihat sekelompok anak muda bernyanyi, bercanda, tertawa hingar.
"Seperti tanpa beban mereka itu" pikirku.
Ada rasa ingin menghampiri mereka, tetapi aku adalah wanita, jelas tak pantas. Beginilah adanya aku, hidup berkecukupan, bahkan bisa dibilang mewah, mau apa saja orang tuaku pasti mengabulkan, tetapi tetap saja sepi hati, sunyi.
       Terkadang aku tak tau apa yang ku inginkan, tak tau pula harus bagaimana, ingin itu lalu sudah begitu, ingin ini lalu terjadi, hasilnya sama saja, stagnan, antiklimaks. Bahkan temanku pernah mengungkapkan satu kalimat yang sampai saat ini masih jelas kuingat.

"Kamu itu nggak biasa sendiri, tapi slalu sendiri".

Pada saat ia mengucap itu aku langsug menyangkal dan ia tak memberikan perlawanan. Namun, semakin kesini, ucapan itu ada benarnya juga.
Kebenaran itulah yang kini menjadi pertanyaan hatiku. Aku masih memiliki orang tua, aku masih punya teman, aku masih punya uang, dan aku tetap milik Tuhan, tapi kenapa hati ini masih merasa sepi ???
Pertanyaan abadi yang slalu dipertanyakan hati.

       Hingga suatu malam, rumahku didatangi tamu, terdengar dari balik dinding kamarku, tamu tersebut sangat ceria sekali pembicaraannya, sehingga membuat susana menjadi harmoni.

"Ani, kamu sudah tidur belum..???". Ibuku memanggil seraya mengetuk pintu kamarku yg tertutup.

Segera ku bukakan pintu.
"Ani belum tidur Bu, sepertinya ada tamu, siapa itu ya Bu..???".
"Iya, justru itu Ibu memanggilmu, yang datang itu Pakde yang ada di Solotigo, masih ingat ndak kamu An ?".
"Rasanya Ani lupa".
"Ya makanya, ayo keruang tamu, temui Pakdemu".
"Iya Bu, tunggu saja".
Segera aku berdandan seadanya untuk menemui Pakde.

Beberapa saat kemudian, aku melangkah menuju ruang tamu lalu bersalaman dengan pakde.

"Ani..Masih ingat ndak sama aku, pakde Kamto???". Tanyanya dengan senyum bahagia.
"Ani lupa pakde". Jawabku singkat namun penuh keingintahuan.
"Coba kamu inget-inget lagi 10 Tahun lalu pada saat kamu masih berusia 10 tahun, waktu itu kamu masih tinggal bersamaku Ni".

Aku mencoba mengingat masa lalu. Memang, aku melihat wajah Pakde sangatlah tidak asing, tapi tetap saja, aku tidak mengingat itu.

"Sudahlah, kalau tidak ingat juga tak apa-apa, yg penting pakde sekarang bisa menemui kamu yg sudah dewasa. Ngomong-ngomong kamu sudah punya calon belum??".
"Ah pakde, calon apaan coba, pacar saja belum punya".

       Obrolan mengenai diriku dimasalalu tercurah penuh canda dan tawa, aku sangat menikmati itu, sebab jarang bahkan hampir tidak pernah aku tertawa selepas ini dirumahku sendiri, yg ada hanya kehidupan sepi monoton tak berdaya menghadapi kesepian.
Malam begitu terasa cepat berlalu, hingga pagi kembali membangunkanku dari tidur.
Aku berpikir, pakde akan tinggal beberapa hari disini, ternyata tidak. Dipagi itu, pakde Kamto mengajakku untuk ikut kerumahnya yg ada di Solotigo, jawa tengah. Bila hanya sekedar menawarkan mungkin aku masih bisa menolak, tapi yang terjadi pakde benar-benar inginkan aku untuk ikut, bahkan bisa dibilang ada unsur pemaksaan.

"Pakde, kenapa Ani harus ikut??? Kenapa tidak Pakde saja yg tinggal disini???".
"Nduk Ani..Pakde kesini hanya ingin mengajak kamu ke Solotigo, soale kalau tidak begitu, kamu tidak akan pernah tau rumah Pakde".

Mendengar alasan itu aku sedikit terkejut, ada apa denganku..? sepertinya hanya aku yang dibutuhkan disini.

"Tapi pakde, apakah Ani di izinkan oleh kedua orangtua Ani kalau Ani ikut pakde???".
"Soal itu, tadi malam pakde sudah bicarakan, dan orangtuamu mengizinkan".

Aku pun mulai mempertimbangkan apakah harus ikut atau tidak serta ingin tahu apa maksudnya dibalik ajakan ini. Belum sempat aku menyetujui ajakan tersebut, pakde sudah meyakinkanku.

"Seandainya kamu disana tidak kerasan, pakde siap mengantarmu kembali kesini".

Entah mengapa, ucapan itu sangat menyejukkanku, bahkan aku merasakan aku lebih dekat dengan pakde dibandingkan dengan orangtuaku sendiri.

"Ya udah pakde, Ani ikut. Kapan yang mau berangkat???".
"Kamu siap-siaplah sekarang, dan kita pamit pada orangtuamu".
"Iya pakde".

Aku yang tengah menyiapkan beberapa perlengkapan untuk hidup disana tiba-tiba Ibu menghampiriku.

"Ani..Kamu baik-baik disana ya..Jangan malas-malasan, kalau tidak kerasan disana, pulanglah dengan alasan yang tidak menyinggung perasaan keluarga Pakde".
    
Sebenarnya aku merasa janggal dengan keadaan ini, namun aku mengiyakan saja apa yang diucapkan Ibu. Setelah Ibu yg berbicara, kini Ayah yang menasihatiku.

"Kamu jangan bikin malu keluarga ini, kamu sudah besar, tau mana baik buruk untukmu sendiri, jika ada apa-apa menimpamu disana, berpikirlah secara terbuka".

"Iya Ayah, Ani mengerti".

       Hatiku bertanya-tanya ada apa ini, seakan-akan mereka takut aku kenapa-kenapa.
Setelah semuanya siap, aku dan Pakde berpamitan. Jelas terlihat kedua orang tuaku memasang senyum palsu dan seadanya melepas kepergianku, sepertinya enggan membiarkan ini terjadi. Namun aku tak menghiaraukan hal itu, diperjalanan sedari tempat tinggalku, comal pemalang, menuju solotigo pakde Kamto sangat menghiburku, antusias mendengarkan alunan cerita-ceritaku, dan memberikan canda yang membuatku tertawa lepas. Sungguh aku bisa saja menganggap hal ini luar biasa.
Perlahan pakde Kamto mulai menceritakan kehidupanku sewaktu kecil dulu.
       Menurut pakde, dulu saat aku terlahir sampai berusia 5 tahunan, adik kandung pakde yaitu Ibuku, dan ayah, masih tinggal bersama pakde Kamto. Barulah, saat aku menginjak usia 6 tahun, ayahku yang asli pemalang, mendapatkan rumah warisan dari kakeknya. Sejak saat itulah kami tinggal di pemalang.
Lalu pada saat aku berusia 10 tahun, pakde bersama istrinya datang mengunjungi rumah ayah dan tinggal selama 3 bulan. Dikala itu, katanya aku sangat akrab sekali dengan bude sampai-sampai aku menangis menjerit ketika pakde dan bude pamit pulang.
Aku yang mendengar cerita itu sangat ingin kembali ingat masa-masa itu, tetapi nyatanya aku tidak ingat sama sekali.
       Setelah selama kurang lebih 8 jam perjalanan, akhirnya sampai juga tempat yang dituju, kota Solotigo.
Kami turun tepat di depan MAN sebelum pasar. Katanya pakde, rumah sudah tak jauh lagi, tinggal berjalan beberapa menit pun sampai. Kami berjalan menyusuri gang setelah melewati sebuah taman. Para tetangga menyambut hangat kedatangan pakde, namun terlihat bingung ketika menatapku.

"Ini nduk rumah pakde, jangan segan-segan dan semoga kamu kerasan tinggal disini". Ucap pakde sembari mengetuk pintu, dan mengucapkan salam.
Terdengar pula sahutan dari dalam, lalu membukakan pintu.
Kulihat sesosok Bude yang bertatapan harap. Aku yang hendak salim pada bude terhambat karna ia langsung memelukku.

"Aniii..bude kangennnn..".

Bude terlihat puas dan sangat bahagia melihatku, hingga bahuku terasa basah oleh matanya. Aku yang tak mengerti pasrah saja, tanganku digenggam, dan dipersilahkan masuk.
Aku merasa seperti ratu yang sempat hilang dan kembali ke istana, aku dilayani setulus-tulusnya, hingga aku merasa risih dan tidak enak hati sendiri.

"Nduk, kalau mau apa-apa, tolong jangan segan, minta saja sama bude atau pakde, biar kami yang menyediakan".

"Iya bude, tapi sudahlah..Jangan terlalu repot".

Seperti itulah, suasana damai hati kudapatkan, tak lagi sepi, tak lagi merasa sendiri. Meski tidak enak hati, sejujurnya aku menikmati.
Lama kami berbincang, aku dititah istirahat, padahal waktu masih menunjuk jam 7 malam, namun apadaya, memang aku letih.
Sebelum memasuki kamar, bude mencium keningku dan mengucapkan selamat malam. Sesuatu yang tak pernah kudapat dirumah.

       Keesokan harinya, aku terbangun lebih siang dari biasanya, hal yang memalukan, apalagi ini terjadi bukan dirumah sendiri. Sedikit terkejut aku saat membuka pintu kamar yang langsung bisa melihat ruang tamu, ya aku melihat sesosok wanita yang bersenda gurau dengan budeku, wanita itu seperti aku, persis.

"Eh nduk Ani sudah terbangun..Mandi cepat, akan bude siapkan sarapan untukmu". Begitu ucapnya, aku menurut saja.

Selesai mandi pagi, sarapan aku tanpa ada yang menemani. Lalu bude menghampiriku.

"Nduk, itu tadi anak bude, seusia denganmu, 20 tahun namanya pun Ani, lengkapnya Ani Fitriyana. Ia kerja di sebuah toko kelontong yang pemiliknya adalah teman dekat pakdemu".
"Tadi malam Ani nggak melihat bu, kemana dia?".
"Ia bekerja, pulang jam 9 malam. Selama kamu disini, bude menyuruhnya cuti kerja, agar bisa menemani kamu. Sudah, cepat selesaikan sarapanmu, bude tunggu diluar".

      Ini sandiwara darimana....Ada apa dengan maksud semua ini...Bagaimana mugkin ini bisa serupa denganku..Kuhentikan sarapanku.
Ia bernama Ani Fitriyana, sedangkan aku menurut akta kelahiranku jelas tertulis bahwa namaku adalah Ani Fitriyani. Apa-apaan ini, berusia sama, dengan wajah yang sama pula.
"Allahhu Akbar".
Jantung berdetak keras saat bergegas ke ruang tamu. Aku dan Ani bersalaman dengan mengucap nama yang sama, senyum palsuku persembahkan. Perasaanku terang mengatakan tak percaya, tapi ini jelas bukan mimpi.
Semakin kurasakan hati ini semakin berontak, hingga aku inginkan sesuatu yang pasti. Aku ingin tau semua ini.

"Kamu datang jam berapa An..?". Tanyanya padaku.
"Mmmhh kemarin, sekitar jam 4 sore mbak..". Jawabku kaku.

Bude yang menyaksikan itu, singgah entah kemana, sehingga mau tidak mau, aku harus berbincang dengannya.

"Mbak'e hari ini tidak kerja kah???". Aku memulai bertanya sekedar basa-basi.
"Ndak An, Mamah tadi menyuruh aku menemanimu selama ada disini, mudah-mudahan kamu senang An..Kamu sendiri dipemalang sudah bekerja apa belum???".
"Kepinginku sebenarnya kerja mbak, tapi sejak lulus sekolah 3 tahun lalu, sampai kini aku masih di rumah saja mbak, orangtua belum mengijinkan..Lha ini pakde'nya kemana ya mbak???".
"Ya kamu turuti saja apa mau orangtua kamu, mbak yakin ada maksud baik dari orangtuamu. Pakde hari ini masuk kerja, nanti jam 3 sore baru pulang. Kabar disana baik-baik saja kan An..???".
"Alhamdulillah mbak, baik-baik saja".

       Aku tak menyangka, rupanya Mbak Ani asyik juga diajak bicara, dan jujur aku senang. Seperti sedang berada dalam naungan kebahagiaan, hingga aku tak sadar bude sudah berada diantara kami. Lalu bude menceritakan kehidupan kami saat kecil dulu. Menurutnya, dulu itu aku sering dibuat menangis dan aku pun sering membuat jengkel mbak Ani. Kami hanya tersenyum malu untuk mengakui.
Perlahan aku dan mbak Ani menjadi akrab. Dimalam harinya, aku menginginkan mbak Ani untuk tidur bersamaku, hanya saja aku sedikit kecewa karena ia menolak, dan bude serta pakde pun mendukung penolakan itu yang berasaskan takut mengganggu kenyamanan tidurku. Apa boleh buat, melangkah pasrah menuju kamar.

      Diranjang empuk terkulai aku terpikirkan perasaan berhasrat ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Aku ingin kejelasan. Aku tak ingin hidupku kedepan penuh dengan pertanyaan. Karena sekarang saja sosok mbak Ani sudah kupertanyakan dalam hati. Entah kenapa aku belum berani menanyakan hal ini kepada pakde, maupun bude. Namun kuberkeyakinan, semuanya akan terungkap, walaupun ku tak tau siapa yang akan memulai..

       Tak seperti hari kemarin, dipagi ini aku bisa sarapan bersama mereka,. Kini aku sudah merasa lepas dari keseganan, aku sudah tidak merasa asing lagi, aku telah menjadi diri sendiri. Melakukan ini itu, bicara ini itu, sudah tak risih lagi.
Kehangatan dimeja sarapan pagi itu harus berhenti, karena pakde pamit berangkat kerja.
Aku yang sedari tadi berbincang dengan mbak Ani dan bude, tak sadar ternyata waktu telah menjelang sore.
Setelah selesai mandi, tumben bude menyuruhku keluar rumah untuk membeli kopi dan gula.
Aku manut saja, tak keberatan sama sekali atas perintah bude, berjalan santai menuju warung.

"Bu, beli kopi sama gula setengah kilo..???"
Ibu pemilik warung tersebut heran menatapku. Lalu aku menegurnya.
"Bu, kok ngeliatinnya begitu, ada yang salah dengan saya???"

"kkkamu Ani kan???" Ibu itu menjawab gugup.

"Iya benar, kok tau Bu.."

"Halah, kita kan tetanggaan, ya pasti tau, lagian kamu kan sering belanja disini, tapi yang Ibu heran, kamu keliatan lebih cantik, tidak seperti Ani biasanya.." Jawab si Ibu.

Aku mendengar itu tersenyum, dan menjawab.

"Saya memang bukan Ani yang biasanya Bu, saya belanja baru kali ini, dan memang, baru 3 hari ini saya tingggal bersama pakde Kamto, Ibu kenal pakde Kamto kan???". Tanyaku polos.

"Pakde???" Jawab Ibu itu.

"Ya...Kenapa Bu?"

Ibu tersebut kembali pada karakter aslinya, blak-blakan.

"Kamu yang dibawa sama Pak Darto dan Ibu Hesti itu ya???"

Pertanyaan yang cukup mengagetkan aliran darahku.

"Kok Ibu kenal???" Tanyaku ingin tahu.
Bukan hanya karna ia tau nama kedua orangtuaku, tapi juga karna ucapannya yang "dibawa".

"Ya tau An, wong kamu itu anaknya Pak Kamto dari pasangan Ibu Fitriyani."

"Apa....??!!!??!!!?"
Ini benar-benar mengejutkanku.

"Ya..Kamu belum tau tow???" Tanya si Ibu merasa bersalah.

"Bu, aku mohon. Tolong kasih tahu aku, apa yang Ibu ketahui tentang aku."

"Mmmhhmm.....Kamu tadi mau beli apa An???". Ibu ini malah mengalihkan pembicaraan.

"Kopi dan gula setengah kilo. Aku mohon ceritakan Bu". Pintaku memaksa.

Ibu itu mengambil kopi dan gula pesananku, setelah itu mulailah ia berkisah.

"Dulu, setelah dua tahun pasangan Kamto-Fitriyani menikah, adik dari Kamto, Hesti menikah dengan lelaki asal Pemalang bernama Darto. Lalu mereka pun sementara tinggal bersama dengan keluarga Kamto. Bertahun-tahun berlalu, Fitriyani melahirkan dua anak kembar perempuan. Saat itu, akulah yang menjadi bidannnya.
Kemudian, anak kembar bernama Ani Fitriyani dan Ani Fitriyana tumbuh besar, sekitar pada umur lima tahunan, Darto dikabarkan mendapat rumah warisan kakeknya. Setelah itu, Darto dan istrinya, Hesti bergegas pindah ke Pemalang dengan membawa salah satu anak dari pasangan Kamto-Fitriyani, karena diketahui bahwa mereka tak bisa memperoleh keturunan".

       Bak disambar petir beribu kali, aku tersentak, terkejut, atau ter apalah itu, yang berujung tersakiti. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tak menangis, dengan tenang aku memberikan uang dan menunggu kembalian yang sangat-sangat lama menurutku. Nafasku sesak.
Proses jual beli selesai, aku berlari menuju rumah meski tak kencang, setidaknya mampu menghasilkan keringat yang menyamarkan airmataku.
Aku meletakkan kopi gula dimeja makan tanpa diketahui bude. Masuk kamar, diranjang empuk aku tersiksa menerima kenyataan ini.

       Tangisan deras menderu, nafas tesengal sejuta hambatan, menyerukan bahwa aku harus percaya pada kenyataan. Inginnya aku jelas tak percaya, tapi kenyataannya, aku memang kembar dengan anak bude, nama aku dan dia pun serupa, apa ada alasan untuk aku tak percaya???. Perhelatan batin sangat sengit menyeruak kedalam nurani, ingin marah, berteriak, menjerit, menyangkal.
Tidak !!! Ini tak benar, aku adalah aku, anak ayahku, Darto. Aku tetaplah aku, anak Ibuku, Hesti. Aku dibesarkan oleh meraka. Tapi ya tapi......Aku disudutkan kenyataan. Pedih.
Hingga malam tiba, linangan airmata masih mengalir, pakde mengetuk pintu.

"Nduk Ani, Ayo kita makan, pakde bawa sate loh"

Aku tak hiraukan itu, sangat berat untuk melangkah. Hanya menangis dan menangis yang kuat aku lakukan.

Kenapa tidak bilang saja aku anak pakde Bu......
Kenapa tak berterusterang saja aku hanya diasuh olehmu Yah.......
Jahat........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Ingin sangat aku mencacimaki takdirku, airmata ini memang jawaban.
Jawaban dari apa yang telah ku alami dalam keheningan hidup.
Aku yang di ungkap bahwa aku makhluk yang tak biasa sendiri namun selalu sendiri.
Aku yang slalu merasa sepi.
Aku yang slalu rapuh dalam gelap malam.
Aku yang pernah mempertanyakan kenapa dengan diriku.
Inilah jawabnya.
Airmata nyatanya.
Puas kah kau takdir ????????

       Semalam suntuk aku terjaga, hingga pagi datang lagi. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, aku kaku, beku.
Meski sarapan bersama, sekuat mungkin kusembunyikan luka. Aku hanya bisa diam seribu bahasa.
Sebab jikalau bicara, airmata mengiringi.

"Tadimalam kamu sudah tidur ya Nduk??? Kok pakde panggil-panggil gak nyahut."

Aku sulit untuk menjawab, mengambil nafas saja tersengal. Hanya mengangguk yang mampu menjawab pertanyaan itu.

"Sarapan sedikit sekali nduk, ndak seperti biasanya....Lagi ndak enak badan po..???" Tegur bude padaku.

"Biasalah Ma, anak muda..Kangen seseorang mungkin.." Mbak Ani yang membalas.

Aku hanya tersenyum menanggapi itu, tanpa basa-basi, aku langsung memasuki kamar.

       Dihatiku ada dorongan untuk menanyakan hal ini pada salah satu anggota keluarga pakde, tapi keberanian masih jauh menghampiri. Mbak Ani adalah satu media yang terbaik untuk ku pertanyakan, karna kami sebaya, juga menurutku ia pun asik diajak bicara. Hanya saja aku lunglai untuk mengawalinya.

"Pakde, bude, ijinkanlah aku hari ini untuk kembali ke pemalang, aku rindukan ayah dan ibu..." Pintaku sedikit gemetar.

"Lhhoooo..Kok mendadak begini nduk ???" Sahut bude, pakde hanya melongo.

"Iya bude, semalam aku memimpikannya". Jawabku mengarang.

"Lalu siapa yang akan mengantarmu nduk, pakde kan harus kerja".

"Ani sendiri gak apa-apa kok pakde, asal diijinkan, dan Ani mohon dengan sangat diijinkan..."

Setelah pakde berpikir keras, akhirnya pakde mengijinkanku untuk pulang hari ini juga.

"Kamu sudah siapkan semuanya belum nduk..Pakde pamit berangkat kerja ya, kamu yang hati-hati dijalan, waspada, jangan sampai nanti pakde merasa bersalah pada keluargamu ya nduk...."

"Iya..Pakde juga hati-hati kerjanya..Makasih ya pakde".

Aku bergegas menyiapkan apa yang akan kubawa pulang ke pemalang. Setelah semuanya selesai dan tinggal berangkat, mbak Ani dan bude lama menatapku, seakan enggan merestui kepulanganku.
Entah dorongan darimana, aku langsung menyergap mereka dan memeluk bude.

"Bude, maafin Ani slama ini sudah banyak merepotkan bude....Ani juga minta maaf kalau slama ini banyak salah..". Airmata mengiringi pengucapanku.

"Ya nduk, tak apa-apa, bude senang kamu diisini..". pelukan itu terlepaskan, dan mbak Ani menghadapku.

"Kamu yakin An, akan pulang sendirian...?"

"Iya mbak..Terimakasih ya mbak..".

Bude kembali memelukku, erat.

 "Maafin bude juga ya nduk....Kamu hati-hati dijalan".

 Kudapati bude menangis dalam pelukanku, entah kekuatan darimana...Aku berani mengungkap semua itu.

"Iya Bu, Ani maafin Ibu kok..". Jawabku spontan seraya melepaskan pelukan itu.

Bude menganga, begitupun dengan mbak Ani.

"Engkau Ibu kandungku...". Ungkapku lagi dengan mata yang semakin basah.

"Ani sudah mengetahui semuanya, dan jangan tanya darisiapa Ani tahu..Ani memaafkan bude, memaafkan pakde...Dan Ani tak akan marah pada mereka yang dipemalang..Bagaimanapun, Ani harus tetap bersyukur, bersyukur karna Ani tau Ani siapa..Terimakasih banyak untuk semuanya...Maafkan Ani berbicara lacang seperti ini, ini karena Ani...Karena Ani sayang bude....". Airmata semakin basah ketika bude memelukku. Pelukan yang hangat dari seorang Ibu kandung. Aku melanjutkan pidato kekeluargaanku dalam pelukan itu.

"Jika harus ada yang terluka, benar, cukup Ani seorang..Jika harus ada yang kecewa, juga cukup Ani saja..Bagaimanapun, bude, pakde, ibu, dan ayah adalah tetap orangtuaku, dan mbak Ani, adalah saudaraku sedarah daging".

Mbak Ani mendengar itu, seperti merasa bersalah..

"Mbak Ani benar-benar minta maaf An, sudah menutup-nutupi ini darimu....Semua ini mbak lakukan demi kebaikan kamu...Mbak Ani minta maaf An.......". Ucap mbak Ani dengan tangisannya yang pertama kali kulihat. Aku luluh atas ucapannya, tak kuasa hanya airmata yang mewakili perasaanku semuanya.

"Benar nduk..Semua itu benar, Aku adalah ibumu.....Maafkan Ibumu.....Tak bisa merawat dan menjagamu nduk......"

"Sudahlah Bu, Ani sudah memaafkan semuanya...Tak ada yang perlu disesali...Ani pamit ya Bu, mbak An...
Salam buat Ayah jika pulang nanti...... "

       Aku tak menunggu jawaban apa-apa lagi dari mereka, kulangkahkan kakiku yang mencoba kuat dengan iringan tangisanku juga tangisan mereka. dijalanan seruni, Solotigo saksi kepedihan sangatku.
Aku memang tak patut meyesali kenyataan ini. Tapi persoalan memang harus ada, sampai saatnya aku dihadapkan pilihan yang tak pernah sanggup aku pilih.
Akankah aku terus terang pada orangtua ku dipemalang, atau aku harus berpura-pura tidak mengetahui aku siapa.
Pernyataan seorang teman yang pernah kujadikan pertanyaan abadi kembali merasuki otakku, bahwa aku ini makhluk yang tak biasa sendiri namun slalu sendiri.
Kini pernyatan itu mampu ku berikan jawaban bahwa ternyata aku mempunyai dua diri.

                                                                       **Tamat**