Alunan lagu barat ku
putar sejak lepas maghrib lalu, sedikit keras saat terdengar irama “Fix You”
milik Coldplay. Entah apa yang kurasa, aku pesta di waktu usai adzan Isya,
sendiri. Sebotol Mixmax menemani, dan kamu seperti biasa, tengah berdandan
menyambut lelaki yang akan singgah di kost-anmu, lalu pergi.
Dia kukenal dengan nama Ririn Trianingrum, dia baik, agak kemayu, dan supel. Wanita berdarah indramayu ini bekerja di sebuah toko waralaba yang kini sedang gencar menggempur desa. Di tengah lingkungan yang padat, membuatmu berpakaian serba ketat, menunjukkan dirimu adalah seksi.
Dia kukenal dengan nama Ririn Trianingrum, dia baik, agak kemayu, dan supel. Wanita berdarah indramayu ini bekerja di sebuah toko waralaba yang kini sedang gencar menggempur desa. Di tengah lingkungan yang padat, membuatmu berpakaian serba ketat, menunjukkan dirimu adalah seksi.
Lelaki ber-Vixion datang, berdiri tegak di depan pintumu, rasanya baru kali ini kulihat. Ahhh bukankah biasanya memang berbeda tiap kali ada yang hampirimu ??? Supel memang membuatmu punya banyak teman, terlebih dirimu cantik.
Aku masih pesta, nuraniku bergumul di waktu,mendekap segala rasa.
“Mas Narto, gue cabut dulu, key…mau malem mingguan…kalo ada
yang nyari bilang aja gue lembur.…” begitu pamitmu di tengah alunan White
Flag-nya Dido.
Aku hanya mengangguk seraya ucap hati-hati padamu, dan rasanya tak kau hirau itu. Kini aku semakin sendiri, di tengah hutan tembok yang sedang ditinggal para penghuni.
Aku hanya mengangguk seraya ucap hati-hati padamu, dan rasanya tak kau hirau itu. Kini aku semakin sendiri, di tengah hutan tembok yang sedang ditinggal para penghuni.
Kemarin kita pernah bicara, tentang kau yang gundah, dan sulit sekali bagiku saat itu menghadirkan sabit di wajahmu. Hingga akhirnya kau malah cekakakan saat mendengar ceritaku tentang manisnya digampar oleh perempuan teman SMA dulu hanya gegara ku beritahu tali BH-nya ada yang melintir.
Aku pun masih ingat ekspresimu ketika kau mengungkit celana dalamku yang bolong tak berbentuk di jemuran saat awal-awal kau isi kontrakan yang sebelumnya 3 minggu dibiarkan kosong.
Baru ku tau kemarin, kau yang bilang bahwa sempak itulah jembatanmu untuk mulai mengenalku sebagai teman.
Hal seperti itu, bagiku agak luar biasa, setidaknya dalam lingkungan ini aku hanya mengenal sisi depan kanan kiriku sebagai tetangga.
padahal kuanggap kau teman adalah saat dimana kau memberi makanan usai kau gajian.
“Mas…ini ada makanan, di makan ya” begitu katamu saat ku melamun didepan pintu.
“Oh ya makasih mba…”.
“Medok banget mas jawanya, udah gausah malu. Mukanya keliatan laper tuh…nih taro aja rotinya didalem kamar mas”.
Sialll !!! kenapa pula dia nampak tau bahwa hari ini aku tak makan.
“Hmm..makasih loh mba…”
“Jangan panggil mba, nama gue Ririn lengkapnya Ririn Trianingrum…nama mas siapa ???”
“Narto…”
“Gak ada nama yang lebih enak didenger ???” Keningnya agak mengkerut.
“Nar !!!” tegas kujawab.
Malam semakin sepi, aku tak tau apakah di pertigaan depan
sana masih ada tukang mie ayam yang mangkal atau sudah pulang, orang yang
melintas semakin jarang, sesekali terdengar letusan kembang api yang tak tau
sumbernya ada dimana, terlebih tentang keberadaanmu. Di sisa pesta, musik
kuperkecil suaranya, kuganti playlist dengan tembang karya Sujiwo Tejo. Inginku
terlelap, tapi tidur jam 10 malam itu rasanya menyiksa. Sudah tentu, menjelang
subuh atau malah masih jam 2 pagi, rasa ingin kencing pasti ada. Ahhh
membayangkan itu pun rasanya sudah sangat menyiksa, apalagi mengalaminya.
Oh ya kemarin dia sempat bercerita tentang adiknya yang baru lulus SMK di tanah
kelahirannya, dia menyatakan bahwa adiknya ingin ikut bersama, dan tentu saja
Ririn menolak. Aku tau, aku tau mengapa dia
tak ingin adiknya ada disini, meski agak bingung menimpalinya, ada saat
dimana seseorang hanya ingin didengar dan harus memberikan pendapat. Saat itu
rasanya dia hanya butuh telingaku. Aku hanya diam.
Kini hanya ada botol Mixmax kosong, rokokku pun sedikit lagi, kopi tak punya. Akhirnya aku punya kegiatan selain merenung, ya....jajan ke warung Mak Jeje.
Kini hanya ada botol Mixmax kosong, rokokku pun sedikit lagi, kopi tak punya. Akhirnya aku punya kegiatan selain merenung, ya....jajan ke warung Mak Jeje.
Usai dari warung, ketika hendak memasuki mulut gang. Aku
melihatnya turun dari Vixion yang tadi menjemputnya. Ada rasa ingin punya sepeda motor agar dapat membawanya
jalan-jalan, tapi ya hanya angan-angan keinginan saja. Biasanya, dia selalu
berdiri sejenak dipintuku walau hanya sekedar bertanya sudah makan atau adakah
yang mencariku tadi. Namun kali ini dia masuk ke dalam tanpa menoleh sedikitpun
ke pintuku yang sedikit terbuka. Aku diam saja, pura-pura tak memperhatikannya
dari belakang. Yang lebih tak biasa, ini baru jam 10 lewat, padahal jika ia
keluar, pasti tak kurang dari jam 11 malam adalah waktu tercepatnya sampai
dikontrakan.
Aku memasuki kamar dengan rasa bertanya. menyajikan kopi hitam dan membiarkan alkohol bekolaborasi dengan kafein dalam perutku. akibatnya, sedikit pusing kepala. Kuperkeras musik, meskipun masih kredit suara speaker ini tak ragu-ragu. Lampu kumatikan, digantikan dengan lampu LED mode Disco gadaian kawanku tahun lalu, namun hinga kini tak pernah ditebusnya. Diriku bersandar dibalik pintu yang kubiarkan sedikit terbuka, bantal di siku, kepala mendongak ke atas, musik dangdut asal nganjuk, Sagita mengalun. Ajep- ajep versi anak srampangan.
Pestaku berlanjut, lalu pintuku terbuka seutuhnya hingga mengenai lutut kiriku. Ya….Ririn yang membukanya, penampilannya kini lebih sederhana hanya dengan menggunakan kaus dan celana kolor mendekati lutut dan rambutnya di ikat. Kutanya ada apa, dia hanya masuk ke kamarku dengan diam, lalu duduk termangu. Kuperkecil suara musik, kumatikan lampu LED dan menyalakan lampu seperti biasanya namun tetap membiarkan dia. Aku memilih diam, kupikir dia akan terbuka dengan sendirinya.
5 menit, 10 menit, 30 menit, 1 jam dia tetap terdiam. Membuatku tak mengerti. Hingga akhirnya,
“Ngapain cuma diem aja ?” tanyanya dengan sedikit menantang.
“Aku gak ngerasa ada perlu ama kamu…kamu yang datang seharusnya kamu yang butuh, dan aku menunggumu bicara….hanya itu….” jawabku sangat jelas.
Dia kembali terdiam, namun tidak lama. Aku terkejut bukan main ketika dia malah membuka baju kausnya yang berwarna kuning kepodang, kini jelas sekali bra hitam melekat melindungi isinya.
“Aku gak ngerasa ada perlu ama kamu…kamu yang datang seharusnya kamu yang butuh, dan aku menunggumu bicara….hanya itu….” jawabku sangat jelas.
Dia kembali terdiam, namun tidak lama. Aku terkejut bukan main ketika dia malah membuka baju kausnya yang berwarna kuning kepodang, kini jelas sekali bra hitam melekat melindungi isinya.
“Masih cuma mau diem aja ??” tanyanya padaku dengan nada
agak pelan.
“Aku masih gak ngerti apa maksutmu Rin…”.
“Jangan sok munafik deh lo, udah nih nikmatin gue. Ini kan yang lo mau…?”
“Asssuuu…!!!! Maksutmu apa toh ? kamu datang tiba-tiba dan begini tiba-tiba. Aku gak ngerti blassss…kamu telanjang sekalipun didepanku ngga akan aku sentuh, bukan karena aku munafik. Aku mau, tapi ngga seperti caramu”.
“Aku masih gak ngerti apa maksutmu Rin…”.
“Jangan sok munafik deh lo, udah nih nikmatin gue. Ini kan yang lo mau…?”
“Asssuuu…!!!! Maksutmu apa toh ? kamu datang tiba-tiba dan begini tiba-tiba. Aku gak ngerti blassss…kamu telanjang sekalipun didepanku ngga akan aku sentuh, bukan karena aku munafik. Aku mau, tapi ngga seperti caramu”.