"Tak terasa ya nduk, hubungan kita sudah berjalan hampir 3 tahun. Bagaimana kalau malam ini kita makan malam di lesehan alun-alun kota???". Ajaknya padaku melepas keheningan suasana kampungku.
"Yang benar mas, mauuu...". Jawabku sedikit manja.
"Ya ayo".
"Bentar, ta' dandan dulu mas biar cantik"
"Ngono yo wes ayu nduk..hehe..".
Bahagia rasa hati ini, sebab jarang sekali aku di ajak jalan ke alun-alun kota solo. Maklumi saja, jarak yang teramat jauh dari tempat kami, sekitar 20 KM. Terlebih baru 3 bulan ini Mas Isno memiliki sepeda motor.
Selang 30 menit berada diatas motor, sampailah kami di tempat yg ramai oleh para pemuda-pemudi seusia kami, mereka sama seperti kami, saling berpasangan. Disana, kami memilih lesehan soto babat, suasana yang terkesan romantis menurutku, karena lampu penerangan yang digunakan hanya berupa lilin-lilin kecil berwarna merah.
"Mas..Mas serius ndak to dengan hubungan ini???". Tanyaku membuka pembicaraan saat itu.
"Sudah, kita makan saja dulu nduk, itu dibahas nanti"
"Yasudah, dihabisin mas makannya"
"Pasti, wong lapar sekali masmu ini..".
Senyum tawa riang menghiasi malam kami, inginku setelah makan adalah membahas tentang keseriusan hubungan yang telah kami bina selama hampir 3 tahun, aku ingin kepastian, aku ingin segera Mas Isno melamarku, karena hati dan raga ini sudah siap untuk itu. Namun, waktu yg tidak menyetujuiku untuk membicarakan ini.
"Sudah larut malam nduk, kita pulang saja ya..Kita bicara dirumahmu saja".
Ucapan mas Isno tentu membuatku sedikit kecewa, tapi apa daya..Meman sudah larut.
* * *
Sesampainya dirumah..
"Huuhh..pegel juga mas naik motor dari kota kesini".
"Ya besok kita jalan kaki saja naknu".
"Wegah mas, tugel iyo sikilku".
"Haha..haha..".
"Ta' bikinin kopi ya mas, mau ndak???".
"Lha emange jam berapa sekarang nduk, nanti mas pulangnya kemaleman, ndak enak sama ayahmu".
"Ndak apalah mas, sekali ini aja pulang agak malem, Arin masih kangen".
"Yowes, bikin kopi sana, tapi jangan manis-manis".
Segera aku memasuki dapur, Kulihat ayah sedang memasak air.
"Kebetulan yah, Arin mau bikin kopi buat mas Isno". Ucapku yang sedikit mengagetkan Ayah.
"Darimana kamu Rin..??? Ayah pulang dari slametan kamu sudah ndak ada."
"Jalan ke Kota sama mas Isno, ramai buanget lho Yah."
"Kuburan le sepi nduk..Ya sudah, kamu yang tunggu mateng ya nduk, Ayah mau ngobrolin kerjaan dengan Isno".
"Iya Ayah, mau dibikinin kopi juga ndak???"
"Boleh, tapi pake gelas yang besar nduk".
"Iya...eh Yah, tanyain mas isno juga ya Yah, serius apa ndak dengan hubungan ini".
"Lha..Itu urusan kalian berdua Rin, Ayah kan tinggal acc saja. Sudah, hal itu kamu saja yang menanyaken, Ayah keluar dulu, kasian Isno ndak ada yang nemenin".
"Hemmmm...".
Ayahku, yang juga satu bagian dengan Mas Isno ditempat kerjanya memang sudah merestui hubungan kami, bahkan jika benar Mas Isno menikahiku, Ayah akan meminta Isno agar mau tinggal disini, dirumah yg kami tempati selama ini. Bukan tanpa alasan, bila aku ikut dengannya, tentulah Ayah akan merasa kesepian, karena aku adalah anak semata wayang, sementara Ibuku...Mmmmmhhhm...Ibu sudah lama meninggalkan kami berdua.
6 Tahun lalu, Ibu meninggal dunia karena penyakit asma yang berkepanjangan. Aku merasa Tuhan terlalu cepat meminta Ibu.
Sampai saat ini bila aku ingat Ibu, tanpa kusadari aku menangis. Jangankan ingat Ibu, dengar lagu "IBU" karya Iwanfals saja sudah sukses membuatku menangis, terlebih diliriknya yang, "Ingin ku dekap, dan menangis dipangkuanmu..Sampai aku tertidur, Bagai masa kecil dulu".
Ndak sadar, airmata mengalir deras walau hanya sekedar dengar. Seakan-akan, bayangan Ibuku hadir disekelilingku menari-nari namun menangis.
* * *
Kopi pun terhidangkan, kulihat Ayah asyik sekali mengobrol dengan Mas Isno.
"Kopi Ayah taruh didalam saja nduk..Isno, aku ta' masuk kedalam ya..Biar Arindra yang temani kamu ngobrol".
"Nggeh pak.."
"Ini mas kopinya, masih panas banget".
"Iya nduk".
"Tadi ngobrolin apa Mas sama Ayah, kelihatannya serius bener".
"Hanya membicarakan pekerajaan saja nduk".
"Yang bener mas".
"Iya, tanya saja Bapak kalau ndak percaya".
"Arin kira bahas apa gitu,, yasudahlah..Diminum mas kopinya".
"Ini terakhir mas ngopi nduk, besok insya Allah mas berhenti ngopi".
"Halah,,,Mas mana bisa berhenti, daridulu cuma ngomongnya thok".
"Hahaha..yang ini beda nduk, lihat saja besok".
Aku memberanikan diri untuk menanyakan keseriusan Mas Isno padaku.
"Mas..hubungan kita ini gimana???".
"Gimana gimana maksudnya nduk???".
"Ih...Udah deh, jangan bercanda, ini serius !!!".
"mmmh...Gini lho nduk, kamu sendiri kan tahu, keadaan keluarga mas seperti apa..Bisa dibilang blangsak nduk. Apa kamu siap nduk dengan segala kemungkinan yang terjadi menimpa kita nanti..???".
"Sudahlah mas, Ayah itu sudah merestui mas, sekarang semuanya ada di Mas, Arin sendiri sudah siap dengan apapun, asalkan bersama kamu Mas".
Kami berdua terlibat pembicaraan yang menetukan jalan kami, dan aku berharap, iya adalah jawabannya.
"Kamu beneran serius kan nduk...???"
"Apa kamu keliatan bercanda mas...? Jawab Mas....".
"Yasudah nduk, sepulang dari sini, mas akan membicarakan hal ini kepada Ibu, agar bisa ditentukan kapan Mas bisa secepatnya melamar kamu nduk".
"Lalu, kapan Mas bisa untuk memberi kabar kepadaku bahwa benar Mas akan melamarku???".
"Kamu sabar saja sebentar nduk, 2 atau 3 hari kedepan nanti, pihak keluarga Mas akan mengabarkan kesini..Mas pulang ya nduk, Bapak sudah tidur belum, mas mau pamit".
Mendengar pernyataan Mas Isno memang membuatku lega, sepertinya apa yang kuharapkan akan terwujudkan..Hidup selamanya bersama.
"Sebentar Mas, ta' panggilkan Ayah dulu". Tak lama, Ayah keluar..
"Pak'e, kulo wangsul rien nggeh Pak".
"Hio No, ati-ati nang dalan, sepi wes bengi".
"Matursuwun nggeh Pak".
"Sami-sami".
"Wassalamualaikum".
"Waalaikumsalam".
Perlahan, semakin jauh Mas Isno dari tatapan ini, aku dan Ayah segera masuk kedalam. Malam ini terasa begitu mengesankan, bahagia ada ku genggam, tinggal menunggu waktu saja untuk dilamar. Aku yakin, Ibunya pun akan memberi restu untuk ini, karena memang, tali silaturahmi antara keluarga kami begitu terjaga, terlebih pada saat Ayah Mas Isno meninggal dunia 3 tahun lalu. Lepas dari perasaanku, rupanya Ayah turut penasaran.
"Gimana Rin, sudah ada kepastian dari Isno???"
"Belum Yah, katanya Ia ingin membicarakannya dulu dengan Ibunya, kita disini hanya menungggu kabar saja". Jawabku dengan tenang.
"Oh, ya..kamu yang sabar ya nduk, Ayah juga berharap, Isno mampu menjadi pemimpin yang baik untukmu Rin..Yasudah, kamu tidur sana, sudah larut malam".
"Amin..Makasih Ayah". Ku kecup kening Ayah, tanda sayangku padanya.
Segera aku memasuki kamar, berkaca pada cermin lemari usang disamping tempat tidur. Menyadari diri ini sebentar lagi akan dipinang oleh seorang lelaki impian, senyum-senyum kecil menggilai wajahku. Hati pun telah bertamasya berada di pelaminan, memakai gaun pengantin bersanding dengan sang pujaan, terlena..Tersadar dari angan-angan ternyata waktu sudah jam 3 malam, tertidurlah aku dipayungi riang.
Begitu dan hanya begitu hingga 2 hari telah berlalu dengan keadaan menunggu. Meski kami hidup di Era yang Modern, hampir semua keluarga yang berada di kampung kami tidak ada yang memiliki handphone, begitupun dengan keluarga Mas Isno. Walaupun ada, aku yakini masih bisa dihitung dengan jari.
Pada malam harinya, selasa 12 juni aku berharap sangat Mas Isno datang membawa kabar, dan Ayahpun merasa demikian.
"Seharusnya Isno kemari malam ini nduk".
"Iya Ayah, Arin juga berharap seperti itu, tapi mana..Sudah jam 9 malam begni Mas Isno belum terlihat". Jawabku dengan nada kesal.
"Mungkin besok malam nduk, kamu tidur saja sana, nanti kalau memang Isno datang, Ayah bangunkan kamu".
"Iya.." dengan wajah memelas memasuki kamar. Entah aku tertidur atau tidak, seperti tengah terbawa oleh angan-angan. Dalam lamunanku, aku merasakan Mas Isno datang menghampiriku secara tiba-tiba dan ia berkata..
"Nduk, besok pagi pihak keluarga mas akan datang kerumah memberi kabar, mas harap kamu siap dengan segala kemungkinan".
"Iya mas". Seketika itu aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, menyadari bahwa itu tadi hanyalah mimpi biasa setelah sebelumnya aku terlalu memikirkan hal tersebut. Namun seakan-akan mimpi itu berkata nyata,aku merasakan keyakinan bahwa esok pagi akan ada kabar darinya, dan semoga saja itu benar, perasaan yakinku membawaku kembali tertidur.
"Arindra..Arindra..Arindra sayang..Arindra..Bangunlah anakku..Arindra sayang..".
Entah darimana asalnya, wanita bersuara bening nan halus itu terus memanggil namaku hingga membuatku terbangun dari tidur, dan lenyap. Hemmmh..Kulihat didinding kamar, sudah jam 5 pagi.
Aku termenung..Suara wanita yang memanggil namaku mengingatkanku akan sosok Ibu. Lalu ku ambil selembar foto Ibu dari lemari usang, menatapnya dengan sayang, tanpa kusadari, airmata telah membasahi pipi.
Aku ingat Ibu...Aku ingin melihat Ibu...Aku rindu Ibu...Ibu........Arindra kangen.....Ibu masih ingat kan, saat aku kecil dulu..Ibu yang selalu mengawasiku akan bahaya...Ibu juga masih ingat kan, saat arin beranjak dewasa, saat bermasalah...Ibu yang yang selalu memberi solusi pada Arin..Ibu..Ingat waktu Arin menangis,,,Ibu yang memeluk dan menenangkanku...Ibu...Arindra kangen....Sebentar lagi Bu..Arin..Arindra akan dilamar oleh Mas Isno Bu...Ibu merestui hubingan Arindra kan Bu..Jawab Bu...Jawab...
"Rin....Arin...Kamu kenapa..???".
Ayah berteriak mengetuk pintu kamarku. Aku membukakan pintu dan langsung memeluk Ayah tanpa berhenti menangis.
"Kamu kenapa nduk??? pagi-pagi sudah menangis".
"Ibu Yah..Arindra kangen sama Ibu...Arindra ingin bertemu dengan Ibu".
"Sudahlah nduk, Ibumu sudah tiada....Ibumu sudah tenang disisi-NYA..Yang penting kita jangan berhenti mengirimkan Doa untuk Ibu..".
"Apa Ayah tidak merindukan Ibu..???".
"Sudahlah...Kamu cepat mandi, lalu buatkan sarapan untuk kita..Jangan menangis lagi".
Meski pertanyaanku tak dijawab, aku tahu betul, bahwa Ayah sangat merindukan Ibu..Terlihat dari tatapan matanya yang bernanar..Dalam sekali rasa Cinta Ayah terhadap Ibu..Yang seakan-akan sedang berusaha menahan tangis didepanku. Ku buatkan segelas kopi untuk Ayah, segera mandi, untuk menyegarkan diri.
Memasak yang ringan-ringan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini.
"Sekarang ini tanggal berapa to Rin..?". Tanya Ayah ketika sarapan.
"Tanggal 13 Yah..Ada apa???".
"Weh...Ayahmu gajian Rin, mau minta apa kamu, pasti Ayah belikan".
"Mmmhm,,,Arin hanya punya 1 permintaan Yah..".
"Sebutkanlah, Insya Allah Ayah kasih".
"......Ayah hari ini jangan masuk kerja ya Yah, temani Arin sehari saja...Gaji Ayah diminta besok saja..". Pintaku dengan nada sifat, Manja.
Permintaan ku bukan tanpa alasan, aku teringat mimpi semalam yang menyatakan bahwa pagi ini akan ada kabar dari Mas Isno.
"Kamu ini gimana to Rin, ndak biasanya minta yang seperti ini, aneh sekali".
"Bisa apa ndak Yah..???".
"Yasudah, bikinin Ayah surat Izin 1 hari, lalu kasihkan pada Pak Soleh".
"Terimakasih Ayah.....".
Sekejap surat izin sudah kubuat, kutitipkan pada rekan kerja Ayah, Pak Soleh yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah.
"Assalamualaikum". Kuketuk pintu rumah Pak Soleh yang masih tertutup rapat.
"Waalaikumsalam......eh Arindra..Ono opo..??? Biasanya Bapakmu yang marani rene..".
"Iya Pakle, justru itu Arindra kemari..Bapak lagi ingin cuti..Ini suratnya, sampaikan ya Pakle ke perusahaan".
"Wah..pengen beres-beres rumah ya Rin..Persiapan buat dilamar..hahahaha..".
"Ah..Pakle bisa saja...". Celetukan Pak Soleh benar membuatku geli.
"Hahahaha....Paling nanti sore Isno baru kerumahmu, wong hari ini dia masuk kerja Rin".
"Iya Pakle..Yang penting ada kabar..Sudah ya Pakle, Arin pamit..".
"Ya...Salam buat bapakmu Rin..".
"Wassalamualaikum Pakle".
"Waalaikumsalam".
"Ada apa ya Mas???". tanya ayahku penuh penasaran.
"Hemmm...Bapak dan Arindra disuruh kerumah Isno sekarang juga".
Ayahku terlihat kaget..Aku pun demikian..Namun tetap, Aku dan Ayah segera berangkat menuju rumah Mas Isno dengan sepeda motor pinjaman tetangga.
Pertanyaan ada apa tentu ada, diperjalanan Ayah bertanya ada apa, dan aku diam saja tak menjawab, sebab aku pun mempertanyakan hal itu.
Sesampainya diperkampungan Mas Isno, jalanan yg relatif terjal berbatu itu mengurangi kecepatan motor yang dikendalikan Ayah.
"Rin, lha umahe Isno yang itu kan...???".
Dari kejauhan memang sudah tampak rumah Mas Isno, namun terlihat ramai oleh orang-orang berpakaian Muslim.
"Iya Ayah..".
"Kok ramai yo nduk".
"Nggak tahu Yah, Arin juga bingung".
"Kamu mau langsung di Akad ijab Kabul mungkin nduk".
"Ah Ayah".
Semakin dekat dan mendekat , Bendera Kuning jelas terpampang di pelataran rumah.
Aku dan Ayah turun dari sepeda motor, dipayungi kebingungan tak mampu melangkahkan kaki..Sang Ibu menghampiri menyambutku dengan pelukan penuh tangis.
"Ibu....Ini ada apa to Bu, jelaskan kepada Arin...???". Aku bertanya setengah menangis.
"Isno Rin...Isno..".
"Mas Isno kenapa Bu..???".
Dijawabnya dengan nada semakin sedu..
"Meninggal Rin..Isno meninggal....".
"Apa.............................!!!!!!!!!!!!!!!!!".
Kembali aku dipeluknya..
Hati bergetar sangat..
Energi tak lagi kuat..
Rasa percaya yang nyaris berkarat..
Airmata sederas hujan berlinang dipipiku membasahi tanah..
Innalillahiwainnalillahirajiun
"Mas...Mas Isno...Mas..Mas...Begitu cepatnya kanu ninggalin aku Mas...Mas Isno.......!!!!!!".
"Kopi Ayah taruh didalam saja nduk..Isno, aku ta' masuk kedalam ya..Biar Arindra yang temani kamu ngobrol".
"Nggeh pak.."
"Ini mas kopinya, masih panas banget".
"Iya nduk".
"Tadi ngobrolin apa Mas sama Ayah, kelihatannya serius bener".
"Hanya membicarakan pekerajaan saja nduk".
"Yang bener mas".
"Iya, tanya saja Bapak kalau ndak percaya".
"Arin kira bahas apa gitu,, yasudahlah..Diminum mas kopinya".
"Ini terakhir mas ngopi nduk, besok insya Allah mas berhenti ngopi".
"Halah,,,Mas mana bisa berhenti, daridulu cuma ngomongnya thok".
"Hahaha..yang ini beda nduk, lihat saja besok".
Aku memberanikan diri untuk menanyakan keseriusan Mas Isno padaku.
"Mas..hubungan kita ini gimana???".
"Gimana gimana maksudnya nduk???".
"Ih...Udah deh, jangan bercanda, ini serius !!!".
"mmmh...Gini lho nduk, kamu sendiri kan tahu, keadaan keluarga mas seperti apa..Bisa dibilang blangsak nduk. Apa kamu siap nduk dengan segala kemungkinan yang terjadi menimpa kita nanti..???".
"Sudahlah mas, Ayah itu sudah merestui mas, sekarang semuanya ada di Mas, Arin sendiri sudah siap dengan apapun, asalkan bersama kamu Mas".
Kami berdua terlibat pembicaraan yang menetukan jalan kami, dan aku berharap, iya adalah jawabannya.
"Kamu beneran serius kan nduk...???"
"Apa kamu keliatan bercanda mas...? Jawab Mas....".
"Yasudah nduk, sepulang dari sini, mas akan membicarakan hal ini kepada Ibu, agar bisa ditentukan kapan Mas bisa secepatnya melamar kamu nduk".
"Lalu, kapan Mas bisa untuk memberi kabar kepadaku bahwa benar Mas akan melamarku???".
"Kamu sabar saja sebentar nduk, 2 atau 3 hari kedepan nanti, pihak keluarga Mas akan mengabarkan kesini..Mas pulang ya nduk, Bapak sudah tidur belum, mas mau pamit".
Mendengar pernyataan Mas Isno memang membuatku lega, sepertinya apa yang kuharapkan akan terwujudkan..Hidup selamanya bersama.
"Sebentar Mas, ta' panggilkan Ayah dulu". Tak lama, Ayah keluar..
"Pak'e, kulo wangsul rien nggeh Pak".
"Hio No, ati-ati nang dalan, sepi wes bengi".
"Matursuwun nggeh Pak".
"Sami-sami".
"Wassalamualaikum".
"Waalaikumsalam".
Perlahan, semakin jauh Mas Isno dari tatapan ini, aku dan Ayah segera masuk kedalam. Malam ini terasa begitu mengesankan, bahagia ada ku genggam, tinggal menunggu waktu saja untuk dilamar. Aku yakin, Ibunya pun akan memberi restu untuk ini, karena memang, tali silaturahmi antara keluarga kami begitu terjaga, terlebih pada saat Ayah Mas Isno meninggal dunia 3 tahun lalu. Lepas dari perasaanku, rupanya Ayah turut penasaran.
"Gimana Rin, sudah ada kepastian dari Isno???"
"Belum Yah, katanya Ia ingin membicarakannya dulu dengan Ibunya, kita disini hanya menungggu kabar saja". Jawabku dengan tenang.
"Oh, ya..kamu yang sabar ya nduk, Ayah juga berharap, Isno mampu menjadi pemimpin yang baik untukmu Rin..Yasudah, kamu tidur sana, sudah larut malam".
"Amin..Makasih Ayah". Ku kecup kening Ayah, tanda sayangku padanya.
Segera aku memasuki kamar, berkaca pada cermin lemari usang disamping tempat tidur. Menyadari diri ini sebentar lagi akan dipinang oleh seorang lelaki impian, senyum-senyum kecil menggilai wajahku. Hati pun telah bertamasya berada di pelaminan, memakai gaun pengantin bersanding dengan sang pujaan, terlena..Tersadar dari angan-angan ternyata waktu sudah jam 3 malam, tertidurlah aku dipayungi riang.
Begitu dan hanya begitu hingga 2 hari telah berlalu dengan keadaan menunggu. Meski kami hidup di Era yang Modern, hampir semua keluarga yang berada di kampung kami tidak ada yang memiliki handphone, begitupun dengan keluarga Mas Isno. Walaupun ada, aku yakini masih bisa dihitung dengan jari.
Pada malam harinya, selasa 12 juni aku berharap sangat Mas Isno datang membawa kabar, dan Ayahpun merasa demikian.
"Seharusnya Isno kemari malam ini nduk".
"Iya Ayah, Arin juga berharap seperti itu, tapi mana..Sudah jam 9 malam begni Mas Isno belum terlihat". Jawabku dengan nada kesal.
"Mungkin besok malam nduk, kamu tidur saja sana, nanti kalau memang Isno datang, Ayah bangunkan kamu".
"Iya.." dengan wajah memelas memasuki kamar. Entah aku tertidur atau tidak, seperti tengah terbawa oleh angan-angan. Dalam lamunanku, aku merasakan Mas Isno datang menghampiriku secara tiba-tiba dan ia berkata..
"Nduk, besok pagi pihak keluarga mas akan datang kerumah memberi kabar, mas harap kamu siap dengan segala kemungkinan".
"Iya mas". Seketika itu aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, menyadari bahwa itu tadi hanyalah mimpi biasa setelah sebelumnya aku terlalu memikirkan hal tersebut. Namun seakan-akan mimpi itu berkata nyata,aku merasakan keyakinan bahwa esok pagi akan ada kabar darinya, dan semoga saja itu benar, perasaan yakinku membawaku kembali tertidur.
"Arindra..Arindra..Arindra sayang..Arindra..Bangunlah anakku..Arindra sayang..".
Entah darimana asalnya, wanita bersuara bening nan halus itu terus memanggil namaku hingga membuatku terbangun dari tidur, dan lenyap. Hemmmh..Kulihat didinding kamar, sudah jam 5 pagi.
Aku termenung..Suara wanita yang memanggil namaku mengingatkanku akan sosok Ibu. Lalu ku ambil selembar foto Ibu dari lemari usang, menatapnya dengan sayang, tanpa kusadari, airmata telah membasahi pipi.
Aku ingat Ibu...Aku ingin melihat Ibu...Aku rindu Ibu...Ibu........Arindra kangen.....Ibu masih ingat kan, saat aku kecil dulu..Ibu yang selalu mengawasiku akan bahaya...Ibu juga masih ingat kan, saat arin beranjak dewasa, saat bermasalah...Ibu yang yang selalu memberi solusi pada Arin..Ibu..Ingat waktu Arin menangis,,,Ibu yang memeluk dan menenangkanku...Ibu...Arindra kangen....Sebentar lagi Bu..Arin..Arindra akan dilamar oleh Mas Isno Bu...Ibu merestui hubingan Arindra kan Bu..Jawab Bu...Jawab...
"Rin....Arin...Kamu kenapa..???".
Ayah berteriak mengetuk pintu kamarku. Aku membukakan pintu dan langsung memeluk Ayah tanpa berhenti menangis.
"Kamu kenapa nduk??? pagi-pagi sudah menangis".
"Ibu Yah..Arindra kangen sama Ibu...Arindra ingin bertemu dengan Ibu".
"Sudahlah nduk, Ibumu sudah tiada....Ibumu sudah tenang disisi-NYA..Yang penting kita jangan berhenti mengirimkan Doa untuk Ibu..".
"Apa Ayah tidak merindukan Ibu..???".
"Sudahlah...Kamu cepat mandi, lalu buatkan sarapan untuk kita..Jangan menangis lagi".
Meski pertanyaanku tak dijawab, aku tahu betul, bahwa Ayah sangat merindukan Ibu..Terlihat dari tatapan matanya yang bernanar..Dalam sekali rasa Cinta Ayah terhadap Ibu..Yang seakan-akan sedang berusaha menahan tangis didepanku. Ku buatkan segelas kopi untuk Ayah, segera mandi, untuk menyegarkan diri.
Memasak yang ringan-ringan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini.
"Sekarang ini tanggal berapa to Rin..?". Tanya Ayah ketika sarapan.
"Tanggal 13 Yah..Ada apa???".
"Weh...Ayahmu gajian Rin, mau minta apa kamu, pasti Ayah belikan".
"Mmmhm,,,Arin hanya punya 1 permintaan Yah..".
"Sebutkanlah, Insya Allah Ayah kasih".
"......Ayah hari ini jangan masuk kerja ya Yah, temani Arin sehari saja...Gaji Ayah diminta besok saja..". Pintaku dengan nada sifat, Manja.
Permintaan ku bukan tanpa alasan, aku teringat mimpi semalam yang menyatakan bahwa pagi ini akan ada kabar dari Mas Isno.
"Kamu ini gimana to Rin, ndak biasanya minta yang seperti ini, aneh sekali".
"Bisa apa ndak Yah..???".
"Yasudah, bikinin Ayah surat Izin 1 hari, lalu kasihkan pada Pak Soleh".
"Terimakasih Ayah.....".
Sekejap surat izin sudah kubuat, kutitipkan pada rekan kerja Ayah, Pak Soleh yang berjarak hanya beberapa meter dari rumah.
"Assalamualaikum". Kuketuk pintu rumah Pak Soleh yang masih tertutup rapat.
"Waalaikumsalam......eh Arindra..Ono opo..??? Biasanya Bapakmu yang marani rene..".
"Iya Pakle, justru itu Arindra kemari..Bapak lagi ingin cuti..Ini suratnya, sampaikan ya Pakle ke perusahaan".
"Wah..pengen beres-beres rumah ya Rin..Persiapan buat dilamar..hahahaha..".
"Ah..Pakle bisa saja...". Celetukan Pak Soleh benar membuatku geli.
"Hahahaha....Paling nanti sore Isno baru kerumahmu, wong hari ini dia masuk kerja Rin".
"Iya Pakle..Yang penting ada kabar..Sudah ya Pakle, Arin pamit..".
"Ya...Salam buat bapakmu Rin..".
"Wassalamualaikum Pakle".
"Waalaikumsalam".
* * *
Hari ini Ayah tidak hanya sekedar menemaniku, tapi juga membantu menyelesaikan semua pekerjaan dirumah yang dibubuhi dengan canda khas Ayah, dan sangat ku suka, sungguh pagi yang ceria. Setelah semua pekerjaan selesai, Ayah memintaku memberinya alasan kenapa hari ini ia tidak boleh masuk kerja.
"Hei anak manja..kenapa Ayah ndak boleh masuk kerja???".
"Nggak boleh ya Yah Arin minta begitu".
"Bukan soal boleh apa ndak, tapi kalau setiap hari mintamu seperti itu, mau makan bata kamu Rin".
"Gini ya, tadi malam Arin mimpiin Mas Isno, katanya dipagi ini pihak keluarganya mau datang kesini memberi kabar, gitu Yah".
"Hadah...kamu ini Rin,,mbok cuma mimpi ditanggepi serius..Isno kan kerja".
"Wuuuhh...Arin nggak bilang Mas Isno yang mau kesini Yah, tapi keluarganya....".
"Oooohhh hio io yo...hahahahaha..".
Beberapa saat kemudian, tepat jam 10 pagi, datanglah Ari dan Eko, yang aku ketahui adalah tetangga Mas Isno.
"Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam Mas Ari, Eko..Dengaren moro rene..". Sapaku penuh senyum, kemudian Ayah pun memperkenalkan diri dan menyambutnya mepersilahkan duduk.
"Aku Sudibyo Hartanto, dan Ini Putriku, Arindra Aryani Hartanto..Silahkan duduk Mas".
"Matursuwun Pak".
"Nduk Rin, buatkan minum untuk tamu kita ini".
Belum beranjak dari tempatku, para tamu ini sudah menolak.
"Ndak usah Rin, kami hanya sebentar disini..Hanya ingin menyampaikan amanah dari keluarga Isno".
"Hemmm...Bapak dan Arindra disuruh kerumah Isno sekarang juga".
Ayahku terlihat kaget..Aku pun demikian..Namun tetap, Aku dan Ayah segera berangkat menuju rumah Mas Isno dengan sepeda motor pinjaman tetangga.
Pertanyaan ada apa tentu ada, diperjalanan Ayah bertanya ada apa, dan aku diam saja tak menjawab, sebab aku pun mempertanyakan hal itu.
Sesampainya diperkampungan Mas Isno, jalanan yg relatif terjal berbatu itu mengurangi kecepatan motor yang dikendalikan Ayah.
"Rin, lha umahe Isno yang itu kan...???".
Dari kejauhan memang sudah tampak rumah Mas Isno, namun terlihat ramai oleh orang-orang berpakaian Muslim.
"Iya Ayah..".
"Kok ramai yo nduk".
"Nggak tahu Yah, Arin juga bingung".
"Kamu mau langsung di Akad ijab Kabul mungkin nduk".
"Ah Ayah".
Semakin dekat dan mendekat , Bendera Kuning jelas terpampang di pelataran rumah.
Aku dan Ayah turun dari sepeda motor, dipayungi kebingungan tak mampu melangkahkan kaki..Sang Ibu menghampiri menyambutku dengan pelukan penuh tangis.
"Ibu....Ini ada apa to Bu, jelaskan kepada Arin...???". Aku bertanya setengah menangis.
"Isno Rin...Isno..".
"Mas Isno kenapa Bu..???".
Dijawabnya dengan nada semakin sedu..
"Meninggal Rin..Isno meninggal....".
"Apa.............................!!!!!!!!!!!!!!!!!".
Kembali aku dipeluknya..
Hati bergetar sangat..
Energi tak lagi kuat..
Rasa percaya yang nyaris berkarat..
Airmata sederas hujan berlinang dipipiku membasahi tanah..
Innalillahiwainnalillahirajiun
"Mas...Mas Isno...Mas..Mas...Begitu cepatnya kanu ninggalin aku Mas...Mas Isno.......!!!!!!".
Dengan segenap tenaga, ku coba menanyakan penyebabnya..
"Ibu..Bagaimana mungkin ini bisa terjadi??? Ibu bohong kan...Ibu cuma ngerjain Arin kan bu....".
Perlahan, dengan suara yang tidak begitu tertata, Ibu mulai menceritakan..
"Tadi pagi, sekitar jam 9 pabrik tempat Isno bekerja...
Terbakar Rin....Ia dan 6 Temannya tidak terselamatkan saat sedang menuju rumah sakit...Ia meninggal Rin.. ".
Tangisan semakin menghujam Ibu..
Tak terkecuali aku..
Dunia dimataku gelap...
Tak lagi ada warna...
Tak ada lagi yang terbayangkan dihari depan...
Hanya airmata yang tetap tercipta...
Meledak-ledak tak percaya...
Terasa...
Hingga...
Tak sadarkan diri...
Siuman, saat malam tiba..hanya Ayah yang kulihat diruangan yang tampak asing, Ayah menangis memandangku. Dibalik dinding ruang itu terdengar sekumpulan manusia sedang membacakan ayat-ayat suci.
"Ayah...Ada apa...Kok nangis...???".
Ayah tahu aku tersadar, memelukku...tanpa menjawab tanyaku yang polos.
"Ayah..kita ada dimana...? Diluar itu siapa yang mengaji Yah...???.
Tangisan Ayah yang semakin keras, memelukku erat...
"Kamu yang sabar ya nduk..sabar..Semua ada hikmahnya..Allah punya pilihan yang lebih baik untukmu nduk...Ikhlaskan nduk...".
Airmata ayah membasahi bahuku, aku teringat..Aku sadar...
Ya..Aku sadar bahwa Mas Isno telah meninggalkan kami semua untuk selamanya..
Amarah mengepul dalam dada..
JAHAT...!!!
KAMU JAHAT MAS...!!!
KAMU TEGA NINGGALIN SEMUA...!!!
APA INI BUKTI KAMU BERHENTI MINUM KOPI !!!!!!!
APA INI BUKTI SAAT KAMU DATANGI MIMPIKU MAS !!!!!!
Amarah dan tangisan sudah sulit dikendalikan....
KATAMU, AKAN MELAMARKU..KATAMU, KITA AKAN SELAMANYA BERSAMA...MANA MAS....MANA......KAMU KEMANA MAS....!!!!!!
"Sudahlah nduk,,,,sudah.....Ia sudah tiada..Ini sudah kehendak-NYA, kita sebagai manusia memang hanya bisa merencanakan...".
Aku memeluk ayah dengan erat, sejenak akal sehat telah kembali..mengingatkanku..Seandainya dihari itu, Ayah tetap kubiarkan bekerja..
Tak ingin aku membayangkan..
Hari demi hari, bulan demi bulan telah berlalu, bahkan sampai sekarang, duka dan luka ini masih dalam, amat dalam. Walau tidak sering, Mas Isno kadang hadir menemaniku dalam mimpi. Hal itulah yang membuatku selalu menangis, entah sampai kapan. Juga aku tak tahu, akan sampai kapan orang-orang yang dekat denganku, selalu ku suguhkan senyum palsu, canda palsu, tawa palsu, perkataan palsu, dan bahagia semu.
Yang hatiku tahu, aku masih berduka....Satu-satunya yang ku syukuri dari peristiwa tersebut ialah, aku tidak kehilangan Ayah tercinta. Meski tetap saja, aku belum mampu menerima kenyataan ini sepenuhnya.
20.07-06-13 Angka yang sampai saat ini ku benci. Di angka itu, tercatat memori kelam masa laluku.
20 usiaku saat itu, 6 tahun yg lalu, Ibuku meninggal pada tanggal 13 bulan 7 (juli). 7, jumlah korban tewas, termasuk Alm. Mas Isno, juga di tanggal 13.
Sementara kini, Ayahku tengah berusia 44 tahun. Jika benar angka itu akan menelan korban lagi, maka 2 tahun kedepan (20+06+07+13=46), aku harus siap kehilangan Ayah. Dan semoga saja itu tidak benar.
***Tamat***